Part 44

131 20 4
                                    

"Tolong aku, Begawan..." rengek Karang Geneng sambil duduk bersimpuh di sebuah pendopo.

Di depan Karang, dua orang laki-laki dan seorang wanita duduk bersila di atas bantal lantai yang terbuat dari kapuk. Mereka bertiga adalah pimpinan perguruan silat Kodok Loncat yang tersohor di seantero tanah Waja, Tirto Luhur, Tirto Wening dan Tirto Wangi.

Luhur, sebagai kakak tertua duduk di tengah sedangkan Wening di sebelah kanan dan Wangi di sebelah kiri. Mereka bertiga mengenakan kain jubah berwarna putih yang memberikan kesan suci dan bijaksana, seperti layaknya para Begawan yang tak lagi berurusan dengan dunia.

"Kangmas Luhur, aku rasa, sekarang lah saatnya kita sebagai perguruan yang beraliran lurus untuk menghentikan kebiadaban mahluk durjana seperti Joko Lelayu," kata Wangi dengan nada angkuh.

"Hmm," Luhur mengelus-elus jenggotnya yang menjuntai hingga ke dada sambil melirik ke arah Wening yang ada di sebelah kanannya.

"Wening, aku rasa semua ini ada hubungannya dengan muridmu si Kala Gondang," gumam Luhur.

"Kangmas, memang aku yang sengaja memancing Joko Lelayu. Tapi bocah itu tak berani mencariku saat aku masih berada di Asem Rengket. Saat aku kembali ke perguruan, dia baru keluar dan membuat onar," jawab Wening.

"Terus, kamu ingin agar perguruan menyelesaikan masalah ini untukmu?" tanya Luhur dengan nada sedikit sinis.

"Humph!! Kalau si Joko Lelayu berani menginjakkan kakinya di lereng Gunung Ngaranu ini, aku sendiri yang akan menghabisinya. Aku tak butuh bantuan dari kalian!" jawab Wening tegas.

Luhur dan Wangi diam tak menjawab. Sekalipun mereka bertiga bersaudara, tapi karena perbedaan pemahaman, mereka memang tak akur sama sekali. Luhur sendiri akan lebih senang jika Wening tak mampu menyelesaikan masalahnya. Saat itu terjadi, Luhur akan menunjukkan jika pendapatnya lah yang lebih benar dan dia akan menunggu hingga Wening memohon kepada dirinya untuk membantu.

Di antara mereka bertiga, Wening memiliki bakat dan kemampuan yang paling tinggi. Meskipun begitu, dia memilih mengalah kepada Luhur dan tak mau memperebutkan tampuk kepemimpinan perguruan dengan kakaknya itu. Wening lebih memilih mengalah dan mengembara, menyerahkan sepenuhnya kendali perguruan kepada Luhur dan Wangi.

Sekalipun Wening lebih sering mengembara, dia tak buta. Dia tahu apa yang terjadi dan dialami oleh Gondang ataupun murid-murid Wening lainnya yang berasal dari keturunan orang biasa. Meski begitu, Wening memilih untuk diam dan berpura-pura tidak tahu. Semua itu demi nasib perguruan yang telah susah payah didirikan oleh leluhur mereka bertiga. Wening tak mau warisan itu hancur di tangan generasi mereka.

Pun ketika Kala Gondang dipaksa untuk meninggalkan perguruan karena tuduhan berbuat tak senonoh kepada Wangi. Wening jelas tak percaya. Sekalipun Gondang adalah anak petani, tapi sikapnya lebih ksatria dibandingkan anak-anak bangsawan yang menjadi murid di perguruannya.

Wening juga percaya, dengan bakat yang dimiliki Gondang, suatu ketika, murid kesayangannya itu pasti akan kembali pulang sambil menepuk dada setelah berhasil memperolah nama di tanah Waja. Karena itu, Wening sangat setuju dengan apa yang dilakukan oleh Gondang dengan berduel melawan Joko Lelayu. Itu merupakan tindakan simbolik kebenaran dalam memberantas kejahatan. Sebuah tindakan terpuji yang akan mengharumkan nama perguruan sekaligus nama Gondang sendiri. Tapi, hasil akhirnya tak sesuai harapan Wening. Gondang kalah dan meregang nyawa.

Wening kehilangan murid kesayangannya. Perguruan kehilangan nama baiknya. Siapa yang tak murka?

"Karang Geneng, kamu bisa berlindung di perguruan ini. Selama aku ada di sini, aku akan melindungimu dari Joko Lelayu," kata Wening ke arah Karang Geneng yang masih duduk bersimpuh di depan mereka.

Mendengar kata-kata Tirto Wening, wajah Karang berubah sumringah dan dia pun membungkukkan badannya hampir menyentuh lantai sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali. Tak lama kemudian, Karang Geneng meninggalkan pendopo perguruan ditemani seorang murid menuju ke salah satu bangunan di dalam komplek perguruan.

"Joko Lelayu adalah penjelmaan sifat angkara dan keji. Dia simbol kejahatan yang menjelma di muka bumi. Kita sebagai wakil dari kebenaran harus memanfaatkan kesempatan ini untuk menunjukkan bahwa kejahatan tak akan pernah bisa sejalan dan menang ketika berhadapan dengan kebenaran," kata Wangi kepada kedua saudaranya.

Wening hanya terdiam sedangkan Luhur terlihat berpikir. Tak lama kemudian, Luhur pun berkata, "Kata-kata Wangi ada benarnya. Kita harus menghubungi Sinuhun dan perguruan-perguruan lain agar mereka bisa menyaksikan berakhirnya kisah Joko Lelayu di tangan Perguruan Kodok Loncat!"

Sejak hari itu, dunia persilatan tanah Waja geger dengan berita perseteruan antara Joko Lelayu dan perguruan Kodok Loncat. Mulai dari perguruan-perguruan lain hingga ke keraton. Joko sendiri, setelah mengamuk di Kadipaten Asem Rengket seolah menghilang. Semua mata dan telinga menuju ke arah lereng gunug Ngaranu, menunggu hari di mana pertarungan tersengit antara kebajikan dan kebatilan, antara kebenaran dan kejahatan akan segera terjadi tak lama lagi.

=====

"Inggih, Sinuhun," jawab seorang abdi dalem yang duduk bersimpuh sambil bersujud hampir menyentuh lantai setelah menerima titah dari junjungannya.

Sejak keraton mendengar sepak terjang Joko Lelayu, mereka sebenarnya sudah mulai merencanakan untuk menangkap atau meringkus penjahat itu. Tapi, mereka selalu kesulitan untuk mendapatkan jejaknya. Joko Lelayu sendiri seolah-olah seperti hantu yang datang, membuat onar, lalu menghilang tak lama kemudian. Pergerakannya sama sekali tak dapat diduga.

Karena itu, ketika keraton mendengar bahwa Joko Lelayu mungkin akan menyerang perguruan Kodok Loncat, Sinuhun langsung memerintahkan agar para punggawa dari keraton mempersiapkan diri untuk meringkus Joko Lelayu, hidup atau mati. Mereka tak peduli apakah para Begawan dan murid-murid perguruan Kodok Loncat akan berhasil mengalahkan Joko Lelayu atau tidak.

Hari itu, seratus prajurit pilihan dari keraton yang digdaya dan sakti mandraguna berangkat menuju ke lereng gunung Ngaranu dengan tujuan yang jelas, menyudahi legenda Joko Lelayu yang selama ini menggegerkan tanah Waja.

=====

Joko berdiri di depan sebuah makam yang masih terlihat baru. Ini hari kesekian dia menghabiskan waktunya di sini, seorang diri, melamun dan merenung, mencoba mencari secercah harapan atau setitik tujuan untuk tetap melanjutkan hidup. Tapi dia tak menemukannya.

Orangtuanya tiada.

Kekasihnya tiada.

Tak ada lagi seorang pun yang berharga untuknya.

Tak ada satu alasan pun yang menahannya.

Joko juga sudah berkali-kali mencoba untuk mengulang kembali semua ingatan akan perjalanan hidupnya. Mencoba untuk mencari di mana letak kesalahan dari semua nasib malang yang menimpanya. Mencoba untuk menemukan alasan yang membuatnya layak untuk merasakan semua ini. Tapi dia tak menemukannya.

Meskipun begitu, Joko tak pernah menyesali hidupnya. Sekalipun pengalaman hidupnya bagaikan jalan terjal mendaki dan membuatnya berkali-kali hampir menyerah untuk melangkah. Tapi Joko harus mengakui, ada suatu masa di mana Joko begitu bahagia telah dilahirkan ke dunia.

Dan jikalau Joko harus menyalahkan seseorang untuk semua yang dia alami. Maka hanya satu nama yang muncul di kepalanya, Karang Geneng.

"Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati..." gumam Joko sambil berdiri dan melangkah pasti, menuju ke sebuah gunung nun jauh di sana, tempat di mana Joko akan mengakhiri semuanya.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang