Part 42

89 16 2
                                    

"Bagaimana menurutmu?" tanya Catur ke arah Tiara.

"Jelas ada yang salah dengan kasus perampokan ini. Kamu kan bisa lihat sendiri kalau keluarga Tejo hanyalah keluarga sederhana. Mereka tak punya sesuatu yang bisa membuat seseorang untuk berniat jahat merampok keluarganya," jawab Tiara.

"Sejak datang ke desa ini beberapa waktu lalu, aku sudah berpikiran sama," kata Catur, "semua perabot yang mungkin ada nilainya dari rumah Tejo, sama sekali tak ada yang hilang. Barang-barang itu justru ikut terbakar. Kondisi rumah korban di desa Pinggir Alas sana pun hampir sama dengan kondisi rumah Tejo di sini," lanjutnya.

"Satu-satunya yang hilang dan mungkin adalah harta paling berharga dari keluarga Tejo adalah..." kata-kata Tiara terhenti dan dia pun melirik ke arah Catur.

Catur menatap ke arah Tiara dan mereka saling berpandangan untuk sesaat. Mereka memiliki pikiran yang sama. Beberapa detik setelah bertatapan mata, mereka berdua menyadari kalau ada yang salah, muka Tiara memerah dan dia memalingkan wajahnya. Catur terbatuk-batuk pelan sambil mengeluarkan sebatang rokok lalu menyalakannya.

"Ayo kita cari tahu soal Sekar. Aku ingin tahu seperti apa gadis itu," kata Catur pelan memecah keheningan di antara mereka berdua.

=====

"Mereka mulai bertanya-tanya soal Sekar ke penduduk desa," kata Jaya datar ke arah Surya.

Surya hanya menarik napas panjang. Dia tahu kalau polisi-polisi muda yang idealis itu pasti lambat laun akan bisa mengendus bau bangkai yang selama ini berusaha mereka tutupi. Kedua orang kota itu tentu tak mudah digertak seperti penduduk desa Kebon Arum yang selama ini hanya akan menuruti semua kata-kata Surya Wisesa penuh ketakutan.

Melihat Surya hanya diam, Jaya kembali berkata, "Bagaimana? Kita pakai cara biasanya?"

Surya melambaikan tangannya, "Goblok! Jangan ngawur kamu!! Sudah, nanti biar aku coba ngomong sama mereka. Kalaupun tidak bisa, aku akan meminta Waluyo menarik mereka pulang."

Jaya hanya diam dengan wajah datar.

=====

Jaya duduk di samping ranjang dengan wajah penuh kepuasan. Di dekatnya, sesosok wanita terbaring berpeluh keringat dan tersenyum sambil menatap ke arahnya.

"Berani-beraninya dia menyebut anak kita dengan sebutan Si Tolol," gumam Jaya saat mengingat kata-kata Surya sesaat sebelum kedatangan Catur dan Tiara ke Kebon Arum.

"Biar saja to Mas, toh dia juga nggak tahu kan kalau itu anakmu," jawab si wanita yang dikenal oleh warga Kebon Arum dengan panggilan Bu Surya.

"Dia memang goblok, selama ini dia selalu curiga kalau kau ada main dengan Arifin. Dia malah tak pernah curiga kepadaku," kata Jaya.

"Justru karena itu hubungan kita selalu aman kan?" bisik Bu Surya sambil bangun dan memeluk Jaya.

=====

"Jadi gimana?" tanya Surya sambil menikmati makan malamnya.

Catur yang duduk di dekat Surya meletakkan sendok di tangannya lalu menjawab, "Kami berpikiran kalau kasus di Kebon Arum dan Pinggir Alas bukan kasus perampokan biasa. Kami juga curiga kalau pelakunya adalah satu komplotan."

"Hmm," sahut Surya dengan deheman dan terlihat berpikir.

"Sudah ada bayangan, kira-kira siapa pelakunya?" tanya Bu Surya yang duduk di sebelah suaminya.

"Sama sekali belum," jawab Catur cepat sambil melirik penuh arti ke arah Surya.

"Aku rasa, pelakunya orang luar kampung Kebon Arum ini. Tejo dan keluarganya adalah keluarga baik-baik, mereka tak punya musuh," kata Bu Surya lagi.

"Buk, jangan ikut campur urusan kepolisian! Nak Surya dan Tiara pasti punya pertimbangan sendiri," potong Surya.

Wanita paruh baya itu menundukkan kepalanya setelah dibentak oleh sang Suami barusan. Catur dan Tiara saling berpandangan.

"Mungkin kata-kata Bu Surya ada benarnya, tapi kami yakin kalau semuanya akan menjadi jelas saat kita berhasil menemukan Sekar," kata Tiara berusaha menghilangkan suasana canggung gara-gara hardikan Surya barusan.

"Ada informasi soal gadis itu?" tanya Surya ke arah Tiara sambil tersenyum. Senyuman genit yang membuat bulu kuduk Tiara merinding.

"Tak ada yang melihat jejak gadis itu. Tapi..." Tiara terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Tapi apa?" tanya Surya.

"Kami mendapatkan informasi bahwa Sekar seharusnya menikah dengan putra Bapak sehari setelah kejadian perampokan itu," jawab Tiara dengan suara pelan.

Suasana ruang makan rumah Surya menjadi hening seketika.

"Maksudmu apa?" tanya Surya dengan nada dingin beberapa saat kemudian.

"Tiara tak bermaksud apa-apa, Pak Surya," potong Catur, "sebagai petugas, sudah menjadi kewajiban kami untuk menyelidiki semua kemungkinan dan petunjuk. Kami tak menuduh siapa pun," lanjutnya.

"Humph!!" dengus Surya kesal.

Catur seolah tak peduli dan justru bertanya, "Kalau boleh tahu, putra Pak Surya yang bernama Jati sekarang ada di mana? Kami ingin berbincang-bincang dengannya."

"Dia pergi ke rumah mertuanya," jawab Surya ketus.

"Di mana rumah mertuanya?" tanya Catur.

"Mana aku tahu??" sahut Surya ketus sambil berdiri dan meninggalkan ruang makan tanpa permisi.

=====

"Tapi kita sudah mendapatkan petunjuk, Ndan!!" sergah Catur ke arah lawan bicaranya melalui handphone di seberang sana.

"Aku tak peduli! Kalian balik ke sini dan serahkan kasus ini ke timnya si Ridwan," jawab Waluyo.

Tanpa menunggu jawaban Catur, Waluyo mematikan panggilan itu. Catur kesal bukan kepalang dan menendang sebongkah batu seukuran kepalan tangan yang ada di depan kakinya untuk melampiaskan kekesalannya.

"Sempakk!!"

"Kenapa?" tanya Tiara yang berdiri bersandar ke sebuah pohon tak jauh dari Catur.

"Kita ditarik balik," jawab Catur pendek.

Tiara mengrenyitkan dahinya. Catur masih saja melampiaskan kekesalannya dengan berteriak dan memaki-maki tak tentu arah.

"Kapan kita harus balik?" tanya Tiara beberapa saat kemudian.

"Secepatnya," jawab Catur pendek, "tapi paling lambat besok sore," lanjutnya.

"Itu artinya, kita masih punya waktu sampe besok sore untuk menemukan Jati," kata Tiara.

Catur mengrenyitkan dahinya dan menatap tajam ke arah Tiara. Sesaat kemudian, mereka berdua pun bergegas menuju ke arah mobil Taft milik Catur yang terparkir tak jauh dari tempat itu.

=====

Jati uring-uringan. Sudah beberapa hari ini dia harus berpindah-pindah terus dari satu rumah ke rumah lainnya bersama Ayu. Dia merasa menjadi seorang maling yang sedang dikejar-kejar oleh warga untuk dihakimi bersama-sama.

"Bukannya kata Bapak dia akan mengatasi mereka berdua?" tanya Jati ke arah Jaya.

"Iya. Mereka akan balik ke kota paling lambat besok sore. Ini malam terakhir kalian harus mengungsi lagi," jawab Jaya.

"Setelah itu?" tanya Jati, "akan ada tim lain yang datang ke sini? Sama saja kan?" sungutnya.

"Sudah, yang penting Den Jati ikuti saja arahan dariku," sergah Jaya.

Jati lalu terdiam dan melirik ke arah Ayu yang duduk di sebelahnya. Gadis itu juga terlihat lelah setelah beberapa malam ini harus selalu berpindah-pindah mengikuti perintah Jaya.

"Kita sampai," kata Jaya sambil menghentikan mobil mereka di depan sebuah rumah kayu yang berada di tepian desa Kebon Arum. Jati tak tahu rumah siapa itu, tapi dia tetap saja turun dari mobil dan menggandeng Ayu. Tak lama kemudian, mereka berdua sudah menghilang ke dalam rumah itu.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang