Part 20

774 71 37
                                    

Wahaiii Kisanak mas_doni dan Nisanak sandy_dewi02, maafkan hamba yang telah melupakan hari jadi kalian.. Eh salah, maksudnya ultah kalian..

Sebagai permohonan maaf, saya bela2in upload Sekar untuk kalian, di tengah teriknya mentari dan percikan api las2an siang ini, 3 chapter.

=====

Crasshhhhhh

Crashhhhh

Craasshhhhhh

Suara tusukan bertubi-tubi terdengar di telinga dan membuat bulu kuduk berdiri. Suara benda tajam yang menusuk dan mengiris daging itu membuat orang yang mendengarnya bisa membayangkan betapa menyakitkannya ketika tubuhnya sendiri sedang tertusuk benda tajam.

“Hahahahahahaha,” Joko tertawa keras dengan air mata yang berlinang.

Sakit, itu pasti, tapi dia tetap berdiri.

Di depannya raut muka Karang Geneng terlihat pucat pasi, napasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran, dia ketakutan.

Ini adalah hal yang paling mengerikan dalam hidupnya.

Bagaimana mungkin seorang manusia masih bisa tertawa setelah puluhan kali keris menusuk tubuhnya?

Bagaimana mungkin seorang manusia masih bisa berdiri saat seluruh tubuhnya tak lagi bersih dan penuh darah yang melumuri?

Laki-laki di depannya, bukan manusia.

Karang Geneng tak sanggup lagi. Lututnya bergetar dan jiwa ksatrianya mulai gentar.

“Kau bukan manusia!!!” desis Karang Geneng sambil melemparkan keris di tangannya.

Tanpa peduli lagi, dia memutar tubuhnya dan melarikan diri dari gelanggang perang seperti seorang pecundang. Dia tak ingat betapa gagahnya dirinya saat meminta Suto membantai keluarga Karsono di pasar Kadipaten. Dia tak ingat betapa sombongnya dirinya saat mengusir Joko di halaman depan Kadipaten.

Joko tak berkata apa-apa. Dia hanya menarik napas dalam, mencoba mengisi rongga dadanya yang masih tetap saja kosong.

Joko baru tersadar kalau semua orang telah berkata bohong. Mereka selalu bercerita soal manisnya balas dendam. Mereka selalu berkata nikmatnya pembalasan.

Tapi, Joko sendiri masih tetap merasa kosong. Sekosong saat dirinya berdiri di depan rumah dan melihat jasad bapak dan ibunya tanpa nyawa.

Sekalipun saat ini Telomoyo sudah tewas di tangannya, sekalipun saat ini Karang Geneng tak lagi seorang pria, tapi tetap saja Joko merasa kosong.

Joko menarik napas dalam. Dia menggunakan punggung tangannya yang sedikit bersih untuk membersihkan tetesan keringat bercampur darah yang menutupi pandangan matanya.

“Kalau lah semua ini percuma, buat apa aku meneruskannya. Toh orang tuaku tak akan kembali hidup juga,” gumam Joko kepada dirinya sendiri.

Joko memutar tubuhnya lalu melangkah perlahan meninggalkan tempat ini.

Prajurit, emban, keluarga keraton, bagaikan laut yang dibelah oleh Nabi Musa di hadapan Joko. Mereka tersibak dengan sendirinya tanpa kata tanpa suara. Joko melangkah pelan dan pasti menuju gerbang depan.

Di salah satu sudut halaman yang jauh dan berada di antara puluhan pengawal keraton, seorang wanita cantik memperhatikan Joko dalam diam. Hatinya gundah gulana, antara perintah untuk mengejar laki-laki itu atau tetap berdiri di tempatnya.

Si gadis yang bernama Gendhis…

Punggung laki-laki yang penuh luka itu seolah berkata kepada dirinya, “Aku melupakan semuanya dan menerjang keraton demi harga diriku, demi keluargaku, apa yang telah kau lakukan?”

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang