Part 37

90 21 2
                                    

Lon Tong terduduk di lantai rumahnya dengan muka pucat pasi. Di depannya berdiri seorang pemuda berkulit sawo matang dengan pakaian compang-camping dan tubuh bersimbah darah. Di sekeliling si pemuda, tubuh centeng-centeng Lon Tong terkapar di sana-sini. Sebagian dari mereka meregang nyawa, sebagian yang lain terbaring dan merintih kesakitan sambil memegangi lukanya.

Bau tak enak tercium dari selangkangan Lon Tong. Bau itu berasal dari air berwarna kekuningan yang membasahi celananya. Sama sekali tak terlihat sikap arogan dan sombong dari sang saudagar Cina yang biasanya selalu dia perlihatkan kepada para pekerjanya.

Joko berjalan pelan ke arah Lon Tong yang langsung beringsut mundur dengan raut muka ketakutan ketika melihat Joko mendekatinya.

"Di mana Gendhis?" tanya Joko datar dan pelan.

Tapi kalimat tanya yang pelan itu bagaikan sebuah sambaran petir di telinga Lon Tong. Dengan tubuh bergetar dan suara terbata-bata, dia menjawab, "Ada... Ada... Oe tak tahu... Kalau... Kalau dia kekasih Lu. Oe..."

Slebbbb.

Joko menancapkan golok milik Kala Gondang yang dia pegang ke lantai tanah halaman rumah Lon Tong. Dia lalu berjongkok tepat di depan laki-laki tua itu, "Bawa dia ke sini!"

Tanpa berkata apa-apa, Lon Tong langsung melesat kabur ketakutan dan berlari ke dalam rumahnya yang megah. Tak lama kemudian, seorang gadis cantik sudah berdiri di depan pintu utama rumah Lon Tong dan menundukkan kepalanya.

Joko menarik napas dalam-dalam ketika melihat sosok gadis itu. Dialah sosok gadis yang sempat membuat hidup Joko terasa sempurna dan berwarna. Tapi kini, mereka berdua seolah dua orang yang terpisahkan oleh sebuah pembatas tak terlihat mata.

"Bapak dan Ibumu memintaku untuk membawamu pulang," kata Joko pelan.

"Nggih," jawab si gadis lirih sambil memberikan isyarat tubuh seorang emban kepada junjungannya.

Joko mengrenyitkan dahinya, "Kau tak perlu bersikap seperti itu kepadaku. Aku ini cuma anak petani."

"Ndoro mungkin cuma seorang anak petani, tapi kawulo cuma barang yang dipindahtangankan dari satu majikan ke majikan lain," jawab Gendhis lirih dengan isak tangis yang tertahan.

Joko tak menjawab lagi lalu memutar badannya. Dia melangkah ke arah pintu gerbang rumah Lon Tong dan bergumam pelan, "Ikuti aku."

=====

"Joko Lelayu mengamuk di pelabuhan!!!"

Siang itu, Gendhis yang menangis di kamarnya tercekat ketika mendengar sebuah berita yang membuat suasana di rumah Lon Tong tiba-tiba menjadi ramai. Gendhis yang biasanya hanya mengurung diri di kamar, memutuskan untuk keluar dari kamarnya untuk memastikan cerita yang barusan didengarnya.

Rumah Lon Tong sangat luas, meskipun dari luar mungkin tak terlihat seperti itu. Jika dilihat dari atas, bentuk tanah dan rumah Lon Tong menyerupai sebuah kendi dengan gerbang depan rumah sebagai mulut kendinya. Selain rumah utama dan gudang yang menjadi bangunan utama, ada beberapa bangunan lainnya yang berada di dalam komplek rumah Lon Tong. Salah satu bangunan itu adalah tempat di mana kamar Gendhis berada.

Gendhis tak sendirian menjadi wanita yang tinggal di sini. Ada beberapa gadis lain yang juga menempati kamar-kamar di sebelah Gendhis, termasuk beberapa pelayan wanita yang bekerja di rumah Lon Tong.

Sebagai seorang saudagar, Lon Tong sangat memahami cara untuk melobi. Dia menggunakan uang dan wanita untuk memperlancar usahanya. Karena itu, Lon Tong memang sengaja mengkoleksi gadis-gadis seperti Gendhis.

Gendhis keluar dan berjalan menuju ke sebuah ruangan yang biasanya memang digunakan oleh para wanita yang menjadi koleksi Lon Tong berkumpul. Saat dia sampai di sana, beberapa orang wanita sudah lebih dulu saling berbisik membahas sesuatu.

"Mbakyu, apa benar Joko Lelayu mengamuk di pelabuhan?" tanya Gendhis ke salah satu wanita yang ada di dekatnya.

"Iya. Katanya, dia sudah menghabisi puluhan orang," jawab wanita di depan Gendhis cepat. Rumor sudah berkembang jauh dari kenyataan hanya dalam hitungan detik saja. Gendhis terdiam. Terbersit sebuah dugaan jika Joko datang demi dirinya. Tapi, Gendhis justru tiba-tiba merasa malu.

Gendhis sadar dirinya bukan lagi gadis polos dan berharga seperti dulu. Dirinya kini tak lebih dari sekedar sebuah ornamen atau benda penghias ruangan. Seorang wanita yang akan disodorkan kepada para bangsawan agar memuluskan jalan usaha Lon Tong.

Tanpa sadar, air mata menetes di wajah Gendhis. Dia bingung, takut, dan ragu. Apa yang akan dia katakan saat nanti dia bertatap muka dengan pemuda pujaan hatinya itu.

"Kinasih..."

Tiba-tiba seorang laki-laki berwajah sangar dan berbadan kekar masuk ke dalam bangunan tempat Gendhis dan beberapa wanita lainnya sedang duduk dan membahas Joko Lelayu. Saat para wanita itu melihat sosok si laki-laki garang, mereka langsung menundukkan kepala mereka dan melihat ke lantai.

"Ganti pakaianmu dengan yang terbaik dan bersihkan tubuhmu. Koh A Tong menyuruhmu ke depan," kata si laki-laki garang itu ke arah Gendhis yang masih terpaku di tempatnya.

"Kenapa?" tanya Gendhis.

Si laki-laki meradang dan tangannya terangkat, dia ingin menggampar gadis di depannya yang sudah berani menanyakan perintahnya. Tapi sekejap mata kemudian, raut muka si laki-laki garang langsung melunak seketika. Dia ingat jika gadis di depannya inilah alasan kenapa seorang setan kini sedang mengamuk di pelabuhan sana.

"Joko Lelayu mungkin akan datang mencarimu," kata si laki-laki garang sambil menurunkan tangannya yang sudah terangkat ke atas perlahan-lahan. Dengan raut wajah sedih, Gendhis memutar tubuhnya dan menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

=====

"Kangmas..." bisik Gendhis lirih hampir tak terdengar.

Sejak keberangkatan mereka dari pelabuhan Riamu menuju ke pelabuhan Asem Rengket, tak sepatah kata pun terucap dari bibir Joko untuk Gendhis. Mereka berdua saling diam dan sama sekali tak berbincang-bincang.

Awalnya, Gendhis mungkin bisa menerima karena dia menyadari kalau dirinya memang tak lagi seperti dulu. Gendhis merasa kalau dirinya memang tak ada harganya lagi. Tapi lambat laun, Gendhis gelisah. Pemuda yang dulu memenuhi mimpinya kini berada di sebelahnya tapi mereka seolah sama sekali tak mengenal. Gendhis tak tahu apakah setelah ini, mereka akan memiliki kesempatan untuk bertemu kembali seperti saat ini.

Joko menolehkan kepalanya ke arah Gendhis yang memanggilnya.

"Apakah aku begitu menjijikkan di mata Kangmas, sehingga tak sekalipun Kangmas sudi melihat ke arahku?" tanya Gendhis lirih sambil menundukkan kepala.

Joko tak menjawab. Dia hanya menarik napas panjang.

"Menjijikkan?" tanya Joko dalam hati.

Joko tak mau melirik ke arah Gendhis ataupun bercakap-cakap dengannya bukan karena alasan itu. Saat tadi dia melihat Gendhis untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Joko sempat terpana. Gadis yang dulu begitu dicintainya itu, tetap menawan hati Joko. Sekalipun Joko berusaha keras untuk menutup hatinya, dia harus mengakui kalau rasa untuk Gendhis masih tetap ada.

Tapi...

Joko bukan lagi Joko anak petani seperti dulu. Joko kini sudah menjadi Joko Lelayu sang penjahat durjana yang menjadi buronan para jawara di tanah Waja. Nyawa Joko selalu di ujung tanduk setiap harinya. Dia tak akan pernah bisa meminta Gendhis untuk merasakan hal yang sama.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang