Part 35

99 20 2
                                    

"Gimana caranya Pak?" tanya Catur penasaran.

Rojikin menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia hanya sekedar mengeluarkan obrolan iseng saja tadi, tapi dia sama sekali tak menyangka jika ditanggapi dengan serius oleh polisi muda di depannya.

"Nganu Mas, ini cuma mitos saja kok, Mas," jawab Rojikin berusaha menghindar.

Catur menatap serius ke arah si Kepala Desa itu dan akhirnya membuat si Kades menyerah, "Gini lho Mas, kalau menurut mitosnya orang sini, cewek itu kalau masih gadis itu ciri-cirinya gini..."

Catur mendengarkan kata-kata Rojikin dengan seksama. Sesekali dia akan berkomentar dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sekitar setengah jam kemudian, obrolan dua orang laki-laki kurang kerjaan itu pun berhenti.

"Jadi karena itu?" tanya Catur.

"Lho iya, Mas. Coba tanya aja sama mereka itu yang sekarang jaga sama kita, pasti mereka setuju sama pendapatku, Mas," jawab Rojikin.

"Oooo," Catur mengangguk-anggukkan kepalanya sambil melirik ke arah Tiara yang masih terlelap di belakangnya.

Sayup-sayup, suara adzan Subuh terdengar dari masjid yang ada di ujung kampung sana. Rojikin menolehkan kepalanya ke arah suara adzan berasal dan menarik napas lega, "Alhamdulillah, malam ini Setan itu ndak muncul ya Mas," kata si Kepala Desa.

"Iya Pak," jawab Catur, meskipun dalam hati, dia sebenarnya kecewa. Mungkin bagi Rojikin, ketidakmunculan si Setan Ladang adalah sebuah anugerah, tapi bagi Catur, itu bencana, karena dia ingin secepatnya menyelesaikan kasus ini. Bagaimana caranya dia bisa melakukan itu jika si Setan Ladang justru bersembunyi?

"Saya mau bangunin orang-orang dulu, Mas. Mas Catur sama Mbak Tiara bisa istirahat di rumah saya," kata Rojikin.

"Iya, Pak," jawab Catur.

Rojikin lalu membangunkan dan membubarkan tim jaga yang ada di tempat ini sejak semalam. Mendengar suara adzan di kejauhan, mereka pun bergegas pulang setelah menghembuskan napas lega. Tak lama kemudian, hanya Catur dan Tiara yang tertinggal di pos jaga.

Catur duduk bersila, Tiara tidur meringkuk di belakangnya. Badan Catur menghalangi angin dingin pagi hari di lereng pegunungan agar tak mengenai tubuh Tiara. Catur menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Dia tak sadar jika sudah sejak adzan subuh tadi suara napas halus teratur milik Tiara tak lagi terdengar. Tiara sudah terbangun tapi tetap meringkuk di tempatnya.

Tiba-tiba saja angin dingin berhembus kencang dan membuat Tiara menggigil. Dia meringkuk makin rapat di belakang Catur. Catur meliriknya sekilas lalu menarik napas panjang. Bagaimana tidak? Tiara hanya mengenakan sweater tipis untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang datang tadi.

"Kok bisa sih ni anak ke sini cuma bawa sweater saja?" sungut Catur dalam hati. Dia lalu melepaskan jaketnya dan menggunakannya untuk menyelimuti Tiara.

Tubuh Tiara bergetar pelan saat merasakan apa yang dilakukan Catur tapi dia tetap tak membuka matanya dan pura-pura tertidur. Tak lama kemudian, mereka berdua sudah kembali ke posisi mereka semula. Catur duduk bersila dengan rokok di tangannya, sedangkan Tiara tidur meringkuk di belakangnya. Kali ini, ada yang sedikit berbeda, jaket Catur terlihat menyelimuti tubuh Tiara.

=====

"Mas, kata Bapak, Mas sama Mbak disuruh sarapan dulu," kata seorang gadis muda lugu kepada Catur yang masih berada di pos jaga.

Catur melihat ke arah jam tangannya dan menganggukkan kepalanya, sekarang sudah jam setengah tujuh pagi. Bagi orang kota, mungkin ini masih terlalu dini, tapi keluarga Pak Kades sudah selesai menyiapkan sarapan pagi mereka.

"Mbak duluan saja, nanti saya nyusul, ini mau bangunin temen saya dulu," kata Catur ke si Mbak yang dia tahu adalah asisten rumah tangga di rumah pak Kades.

Gadis itu menganggukkan kepala dengan sebuah senyuman di bibirnya lalu dia bergegas ke arah rumah Kepala Desa. Catur menolehkan kepalanya dan melihat ke arah rekannya yang masih asyik berbaring di belakangnya. Dari ekspresi wajahnya, Tiara terlihat nyaman sekali, dan Catur hanya menarik napas panjang saat melihat betapa cantik wajah rekannya itu.

"Ra, bangun," kata Catur. Dia ingin mengulangi lagi panggilannya ketika Tiara membuka matanya dan mereka berdua langsung bertatapan mata.

Tiara reflek menutup wajahnya dengan kedua tangannya, "Apaan sih?" sungutnya ke arah Catur.

"Apanya yang apaan?" tanya Catur.

"Pamali tahu, cowok liat muka cewek pas bangun tidur," jawab Tiara.

"Ish. Kita ni petugas. Masa iya percaya sama yang begituan," kata Catur.

"Dah sana, putar badan!" teriak Tiara.

Catur mengangkat bahu lalu memutar badannya. Dia lalu berdiri dari pos jaga dan kembali menikmati dinginnya udara pagi ditemani hembusan asap rokok dari bibirnya. Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah berjalan menuju ke rumah Rojikin.

=====

Sekar terbangun dari tidurnya. Hal yang pertama dia rasakan adalah rasa lapar yang melilit perutnya. Tanpa mengeluarkan suara, Sekar bangun dan langsung meraih sebuah bungkusan plastik yang ada di salah satu sudut gua tempatnya bersembunyi. Dari dalam bungkusan plastik itu, Sekar mengeluarkan beberapa bungkus coklat dan roti yang beberapa hari lalu dia ambil dari salah toko kelontong di desa Kawengen.

Sebenarnya, sudah sejak beberapa waktu lalu Sekar mulai memikirkan kembali semua yang dia lakukan di desa Kawengen. Terutama soal kebiasaannya mengambil barang-barang milik warga desa. Di satu sisi, Sekar merasa kasihan kepada para penduduk desa, tetapi di sisi lain, dia kelaparan.

Sekar juga tahu, apa yang dia lakukan di desa Kawengen ini tak bisa berlangsung lama. Lambat laun, warga desa yang merasa dirugikan oleh tingkah Setan Ladang pasti akan mengambil tindakan. Kejadian kemarin malam adalah buktinya. Kini, pihak kepolisian sudah datang untuk menangkapnya. Karena alasan itu juga Sekar memutuskan untuk bersembunyi tadi malam.

Setelah berhasil mengurangi rasa laparnya, Sekar meminum air mineral yang ada di dekatnya. Dia lalu menarik napas panjang dan melihat ke arah sekelilingnya. Mungkin ini kali terakhir bagi Sekar untuk berada di tempat ini. Sekar memutuskan untuk meninggalkan gua yang menjadi tempat persembunyiannya selama menjadi Setan Ladang Kawengen.

=====

Selama beberapa hari terakhir ini Catur uring-uringan. Usahanya untuk menangkap Setan Ladang Kawengen selama beberapa malam terakhir tak membuahkan hasil. Jangankan sosoknya, kelebatan bayangannya saja tak bisa Catur temukan.

Catur sendiri juga heran. Sebelum ini, hampir setiap malam si Setan Ladang itu menampakkan diri dan meneror warga desa. Tapi sejak kejadian malam itu, ketika Catur menghujani si Setan Ladang dengan timah panas, sosok mahluk yang dia buru itu tak menampakkan batang hidungnya.

"Kalau gini ceritanya, kasus ini bakalan tak selesai," gerutu Catur kepada dirinya sendiri.

Berbeda dengan Catur yang selalu uring-uringan, Tiara yang menemani Catur ke Kawengen justru terlihat lebih santai dan ceria. Dia bahkan terlihat membaur dengan anak-anak muda dan warga desa Kawengen dibandingkan Catur sendiri.

"Mbak Ara, ayuk ikut ke kebun. Ini mau panen jagung. Nanti kita bisa bakar jagung sekalian di sana," teriak seorang gadis desa Kawengen ke arah Tiara yang berjalan bersama Catur.

"Maaf, aku belum bisa. Ini masih ada kerjaan," jawab Tiara sambil tersenyum manis ke arah si gadis yang memasang muka kecewa.

Catur cuma melirik ke arah Tiara dan menggelengkan kepalanya.

"Apa?" sungut Tiara yang sikapnya langsung berubah 180 derajat jika dibandingkan saat berbincang-bincang dengan gadis tadi.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang