Part 39

99 17 2
                                    


Sekar berdiri di antara rimbunnya pepohonan. Dia melihat ke arah sebuah rumah yang kini hanya tinggal puing-puing tak jauh di depannya. Air matanya mengalir tanpa sadar ketika melihat kondisi tempat di mana Sekar lahir dan dibesarkan.

Rumah sederhana berdinding kayu berlantai plester tanpa keramik itu kini sudah tak bisa disebut rumah lagi. Sebagian besar dindingnya habis terbakar. Atapnya runtuh berserakan di lantai plester dan bercampur dengan abu bekas kayu yang terbakar. Kursi, lemari, dan berbagai perabot lainnya hangus tak bersisa.

"Apa salah kami?" bisik Sekar di antara isak tangisnya. Tiba-tiba saja, kepala Sekar kembali dipenuhi bayangan kejadian malam itu.

"Lari, Nduk!!! Lari sejauh mungkin dan jangan menoleh ke belakang," kata Bapak sambil memegang sabit di tangannya.

Bapak mendorong Sekar yang masih kebingungan karena dibangunkan secara paksa beberapa detik lalu oleh Ibu yang menangis kencang di sebelah Bapak. Sekar yang mungkin masih belum sadar sepenuhnya hanya menuruti perintah Bapak dan berlari keluar dari pintu belakang rumah.

Sesaat kemudian, suara teriakan dan makian terdengar di telinga Sekar yang perlahan-lahan menyadari apa yang terjadi. Sekar menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. Saat itulah dia melihat Jaya dan anak buahnya menghabisi nyawa Bapak dan Ibunya.

Tubuh Sekar lemas secara tiba-tiba. Dia terduduk di tempatnya berdiri dan menatap nanar ke arah dua tubuh yang kini terbaring di halaman depan rumah mereka. Tubuh Bapak dan Ibu yang selama ini menyayangi Sekar sepenuh hati.

"Kejar!! Cari sampai dapat!!"

Tiba-tiba sebuah suara teriakan keras terdengar dan menyadarkan Sekar. Dia menoleh ke arah suara itu berasal dan melihat sosok Iblis yang bertanggungjawab atas semuanya, Jati Wangi.

Sekar meremas tangannya kuat. Matanya kembali terarah ke arah tubuh Bapak dan Ibunya yang terbujur kaku di atas tanah. Dengan air mata yang juga tak kunjung berhenti, Sekar berdiri dan berlari, karena itulah perintah terakhir dari Bapak yang diterima Sekar dalam hidupnya.

Buaaakkkkkkk.

Daun berguguran dari pohon yang ada di sebelah Sekar. Sebuah bekas kepalan tangan terlihat di batang pohon tersebut karena pukulan Sekar barusan. Setelah dipenuhi kesedihan, api amarah muncul di dalam tubuh Sekar. Kemarahan yang luar biasa dan tak pernah Sekar rasakan sebelumnya.

=====

"Tuman!!!" kata Waluyo sambil melotot ke arah Tiara. Tiara hanya terdiam dan menatap tajam ke arah Waluyo. Catur tak berkata apa-apa dan hanya memperhatikan ekspresi mereka berdua.

Melihat Tiara tak berniat untuk membalas perkataannya, Waluyo menolehkan kepalanya dan melihat ke arah Catur, "Memangnya kamu nggak bisa sendirian ya nangani kasus di Kebon Arum dan Pinggir Alas itu?"

"Sendirian?" tanya Catur, "Korban dari kasus ini sampai empat orang lho, Ndan. Kalau di tempat lain atau di kota besar, aku yakin kasus seperti ini akan viral dan jadi kasus utama yang bakalan dikerjakan oleh satu tim reskrim," lanjutnya.

"Maksudmu apa?" bentak Waluyo.

Catur mengangkat kedua tangannya ke atas tanda menyerah dan sama sekali tak berniat untuk berdebat dengan atasannya.

"Belum tentu juga pelaku kedua kasus itu sama. Lagian, kedua desa itu kan terpisah jauh," kata Waluyo tak lama kemudian, "sudah, sudah. Kau bawa Tiara ke sana dan selidiki berdua."

'Terimakasih, Ndan," kata Tiara datar.

"Siap, Ndan," jawab Catur sambil berdiri dan meninggalkan ruangan.

Beberapa menit kemudian, Waluyo terlihat sedang menelpon seseorang sambil melihat ke luar jendela, ke arah sebuah gunung tinggi menjulang yang berada nun jauh di sana.

"Anak buahku nanti ke sana dua orang. Jangan bikin ulah macam-macam," kata Waluyo ke arah lawan bicaranya di seberang telepon sana.

Waluyo lalu terlihat diam dan mendengarkan, tapi tiba-tiba saja dia berteriak marah, "Kau yang bikin masalah sekarang kau pula yang minta aku selesaikan? Sudah untung aku tak mengirim satu tim reskrim ke sana!!!"

Waluyo lalu mematikan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Mukanya merah padam karena emosi. Dia butuh pelampiasan untuk meredakan emosinya. Tak lama kemudian, Waluyo mengetik sebuah pesan singkat WA dengan handphonenya.

'Aku suntuk, nanti pulang kerja ngamar yuk?' ketik Waluyo lalu mengirimkannya.

'Oke. Tapi jangan lupa janjimu lho Mas. Katanya mau beliin Iphone baru.'

'Aman itu, nanti sekalian beli,' balas Waluyo.

'Siap. Muaahhh,' isi pesan masuk ke hp Waluyo. Pesan WA tersebut terkirim dari sebuah kontak dengan nama Aulia.

=====

Surya Wisesa menarik napas panjang untuk meredakan emosinya. Dia lalu berteriak ke arah pembantunya, "Panggil Jaya dan Jati!!"

Tak lama kemudian, mereka berdua sudah duduk di depan Surya.

Surya menghembuskan asap rokok dari bibirnya dan terlihat berpikir dalam. Jaya dan Jati tak bersuara dan hanya diam di tempatnya. Setelah menunggu selama beberapa menit, Surya akhirnya menolehkan kepalanya ke arah Jaya.

"Sebentar lagi, ada dua orang polisi datang ke sini untuk menyelidiki soal keluarga Tejo dan juga soal pasangan tua bangka di Pinggir Alas sana," kata Surya pelan.

Jaya diam saja sedangkan raut muka Jati menjadi pucat pasi. Surya menoleh ke arah Jati dan tersenyum kecut, "Kamu kenapa? Yang penting tetap tenang dan berpura-pura tak tahu apa-apa, semuanya akan beres."

"Tapi, Pak..." Jati masih terlihat ketakutan.

Surya menarik napas panjang ketika melihat Jati. Mau tak mau, Surya harus mengakui kalau mungkin dia terlalu memanjakan anak laki-lakinya ini. Hanya mendengar soal kedatangan polisi untuk menyelidiki kasus saja, anaknya itu sudah ketakutan.

"Sudah. Supaya lebih aman, kamu sama istrimu liburan saja sana! Entah kemana, terserah," kata Surya.

Jati terlihat berpikir untuk sesaat lalu menganggukkan kepalanya. Dia lalu berdiri dan meninggalkan Jaya dan Surya sendirian di dalam ruang kerja Surya.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Surya ke arah Jaya.

"Aku habisi saja mereka berdua?" tanya Jaya datar.

Surya menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mendengar kata-kata Jaya, "Jaya, kita ini bukan lagi seperti dulu. Aku sekarang seorang lurah, kalau ngikut kemauanmu, semua usahaku yang selama ini kubangun bakalan sia-sia."

"Lha terus gimana?" tanya Jaya.

"Bersikap biasa saja dulu. Kita lihat nanti seperti apa maunya mereka berdua," jawab Surya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

"Terserah..." jawab Jaya sambil mengangkat kedua bahunya.

"Kata Waluyo, mereka berdua polisi muda yang masih idealis. Mereka masih melihat dunia ini dengan kaca mata hitam putih," gumam Surya pelan seolah kepada dirinya sendiri.

"Aku mungkin bisa menjaga diri dan menutupi semuanya, tapi aku takut Jati belum cukup dewasa untuk bisa menghadapi kedua orang polisi itu," jawab Jaya.

"Justru karena itu aku menyuruh Jati biar pergi dari sini," potong Surya, "yang paling kutakutkan adalah mulut si tolol itu," lanjutnya.

Raut muka Jaya sedikit berubah ketika mendengar Surya memaki Jati dengan sebutan tolol. Tapi perubahan itu hanya untuk sesaat, sekejap mata kemudian, raut muka Jaya kembali datar dan dingin seperti tadi.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang