Part 38

84 21 1
                                    

Gendhis diam dan menunggu. Dia tahu kalau saat ini, Joko sedang melihat ke arahnya. Gendhis sendiri tak berani mengangkat wajahnya. Dia malu untuk sekedar bertatapan mata dengan Joko.

"Aku sama sekali tak pernah menganggapmu seperti itu, Gendhis," jawab Joko.

Tubuh Gendhis bergetar ketika mendengar kata-kata Joko. Dia menarik napas panjang lalu memberanikan dirinya untuk bertanya, "Lalu kenapa Kangmas mendiamkan aku?"

"Aku bukan lagi laki-laki yang kamu kenal seperti dulu," jawab Joko, "aku seorang penjahat, pembunuh, dan perampok keji. Aku diburu oleh semua jawara di tanah Waja," lanjutnya.

"Lalu aku ini apa, Kangmas?" jawab Gendhis, "aku cuma bekas selir yang dibuang, dilempar ke saudagar Cina untuk digunakan sebagai pemuas nafsu laki-laki hidung belang. Aku lebih hina dari sampeyan, Kangmas."

Joko hanya diam. Isak tangis mulai terdengar dari bibir Gendhis. Siapa yang tak sedih ketika harus mengakui kalau dirinya hanyalah sampah di depan orang yang dikasihinya.

Joko yang selama ini tak pernah takut saat berhadapan dengan puluhan musuhnya, kebingungan saat menghadapi Gendhis yang menangis didepannya. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Gendhis adalah satu-satunya wanita yang pernah dekat dengan Joko dan hubungan terdekat mereka sebelumnya hanya sebatas berbincang-bincang.

Tangisan Gendhis makin menjadi. Tubuhnya terguncang-guncang. Dia masih saja menundukkan kepala dan tak berani melihat ke arah wajah kekasihnya. Dengan tubuh bergetar, Joko perlahan-lahan mendekati Gendhis. Tangannya terulur ke arah wanita itu lalu dia memeluknya. Gendhis menangis makin menjadi ketika merasakan rengkuhan tangan kekasihnya.

Siang itu, Gendhis menumpahkan semua kesedihan yang dia alami selama ini dalam pelukan Joko.

=====

Seorang laki-laki mengelap keringat yang bercucuran di wajahnya. Dia lalu menegakkan badan dan menghirup udara segar untuk memenuhi paru-parunya. Dia tersenyum ketika melihat tanaman sayuran menghijau di sekelilingnya.

"Kangmas, istirahat dulu..."

Sebuah suara merdu memanggil si laki-laki yang sedang berada di tengah kebun sayurnya. Dia pun menolehkan kepalanya ke arah suara merdu itu berasal. Si laki-laki menganggukkan kepalanya sebagai jawaban lalu meraih cangkul yang ada di sebelahnya. Dia lalu berjalan menuju ke arah seorang wanita yang menunggunya di bawah sebatang pohon dengan sebuah bungkusan di tangan.

Joko dan Gendhis duduk bersebelahan sambil menikmati makanan yang dibawa oleh Gendhis barusan. Mereka berdua seperti pasangan suami istri petani kebanyakan. Sama sekali tak ada yang terlihat istimewa, kecuali wajah Gendhis yang mungkin terlalu cantik untuk ukuran seorang istri petani biasa.

Senyuman tak pernah terlepas dari wajah Gendhis saat dia melihat ke arah suaminya yang sedang menghabiskan makanan di depannya.

Setelah Joko menyelamatkannya dari tangan A Tong beberapa bulan lalu, Gendhis memaksa untuk ikut kemana pun Joko pergi. Joko yang sebelumnya berniat untuk mengantarkan Gendhis kepada orangtuanya seperti permintaan mereka, akhirnya menuruti kemauan Gendhis.

Sejak saat itu, mereka berdua memutuskan untuk menikah dan hidup menyepi di sebuah desa antah berantah tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka.

"Kamu nggak ikut makan?" tanya Joko.

"Kangmas duluan saja," jawab Gendhis. Joko tak membantah dan meneruskan makan siangnya.

Mereka berdua memang tinggal di tempat terpencil. Tapi, untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, selama ini mereka sangat jarang berhubungan dengan tetangga mereka di desa. Joko juga hampir tak pernah meninggalkan rumah dan kebunnya. Gendhis lah yang biasanya akan pergi ke pasar untuk menjual hasil sayur mereka lalu membeli kebutuhan hidup sehari-hari untuk mereka berdua. Dengan cara seperti itu, Joko dan Gendhis berhasil menghindari orang-orang yang mengejar Joko selama berbulan-bulan.

"Kamu nggak kecewa hidup seperti ini?" tanya Joko setelah selesai menghabiskan makanannya.

"Kenapa sampeyan bertanya seperti itu, Kangmas?" Gendhis bertanya balik.

"Sejak kecil, kamu sudah terbiasa dengan hiruk pikuk kota kadipaten yang ramai. Jauh berbeda dengan kehidupan sederhana di tepi hutan seperti sekarang ini kan?" kata Joko.

Gendhis tertawa kecil, "Asalkan sama Kangmas, kemana pun aku bahagia," jawabnya.

Gendhis tidak sedang berbohong. Beberapa bulan terakhir ini adalah saat paling membahagiakan dalam hidupnya. Bahkan jika dibandingkan dengan masa kecil Gendhis di keraton kadipaten sekalipun. Apalagi jika dibandingkan dengan kehidupannya saat menjadi selir Karang Geneng atau simpanan A Tong.

Joko lalu meraih jemari tangan Gendhis dan mengelus-elusnya sambil tersenyum kecut. Jari tangan Gendhis yang dulunya halus dan lembut, perlahan berubah menjadi sedikit kasar karena semua pekerjaan rumah yang dia lakukan. Dia lalu mengangkat jemari Gendhis dan menciumnya pelan.

"Terimakasih, Istriku," bisik Joko pelan.

=====

Seorang laki-laki tua duduk diam sambil bersila di tempatnya. Tatapan matanya menerawang jauh entah kemana. Dia sama sekali tak mempedulikan keramaian dan hiruk pikuk orang-orang di sekelilingnya. Dia bahkan sama sekali tak menggubris obrolan dua orang saudaranya yang duduk di sebelah kanan dan kirinya.

Tirto Wening baru beberapa hari belakangan ini kembali ke perguruannya setelah mengembara selama dua tahun di luar perguruan. Dia memang hampir tak pernah berada di perguruan dan lebih banyak menghabiskan waktunya mengembara. Berbeda dengan kakak dan adiknya.

Sekalipun kepergian dan kepulangan mahaguru kedua dari perguruan Kodok Loncat di lereng gunung Ngaranu adalah suatu hal yang biasa, tapi kali ini, ada sebuah berita yang membuat Tirto Wening bersikap aneh seperti barusan. Berita itu adalah berita kematian Kala Gondang, murid kesayangan Wening.

Luhur, Wening, dan Wangi adalah tiga orang bersaudara yang terlahir dari kasta Brahmana. Sejak kecil mereka sudah diajarkan olah kanuragan dan olah kebatinan. Mereka juga sangat pandai di bidang sastra, karena sudah diajari baca tulis sejak muda. Setelah kematian orang tua mereka, ketiga bersaudara tersebut mewarisi perguruan dan memimpinnya.

Luhur dan Wangi selalu menghabiskan waktu mereka di dalam perguruan sedangkan Wening lebih suka mengembara. Mungkin karena itulah mereka bertiga memiliki perbedaan karakter dan cara pandang terhadap dunia.

Luhur dan Wangi sangat menjunjung tinggi status sosial dalam kehidupan mereka. Mereka percaya bahwa potensi seseorang sudah dimiliki dari lahir dan sesuai dengan kasta mereka. Mereka ingin agar perguruan kembali murni menjadi tempat penggemblengan para ksatria.

Berbeda dengan saudaranya, Wening yang sering mengembara, tak pernah mempermasalahkan soal status sosial. Bagi Wening, kasta seseorang hanyalah sebuah kebetulan semata. Tak ada seorang pun di dunia yang bisa memilih untuk terlahir dari rahim siapa. Karena itu, Wening tak mempermasalahkan ketika seorang anak petani atau anak pedagang ingin bergabung dengan perguruan mereka.

Karena Wening juga lah, akhirnya banyak murid-murid bukan dari kasta ksatria yang bergabung dengan perguruan Kodok Loncat. Meskipun sebenarnya, mereka selalu mendapatkan tekanan dari Luhur, Wangi dan para murid Ksatria. Apalagi Wening sendiri hampir tak pernah berada di perguruan dan selalu mengembara, membuat nasib para murid dari kasta yang lebih rendah diperlakukan tak lebih dari para pelayan saja.

Semua itu berubah sejak kedatangan Kala Gondang, murid kesayangan Tirto Wening.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang