Part 40

116 19 2
                                    

"Selama kalian berada di Kebon Arum, kalian bisa tinggal di gubukku," kata Surya sambil tersenyum sopan ke arah sepasang laki-laki dan perempuan yang duduk di depannya.

"Terima kasih Pak Surya, mohon maaf kalau kami merepotkan," jawab Catur ke arah kepala desa yang ada di depannya itu.

"Ndak pa-pa. Ini sudah menjadi tugasku. Apalagi kejadian perampokan itu terjadi di desaku. Aku ikut merasa bertanggungjawab juga," kata Surya.

"Kalau begitu, kami ijin untuk melihat ke TKP Pak," sahut Catur sambil beranjak berdiri, "Pak Surya ndak usah ikut nemenin ndak pa-pa. Saya tahu kalau Bapak pasti sibuk," lanjutnya.

"Ndak sibuk-sibuk banget kok. Di desa kecil seperti Kebon Arum ini, nggak banyak tugas yang harus dilakukan oleh seorang kades," jawab Surya, "biar mudah kalau kalian butuh apa-apa, nanti biar ditemeni sama salah satu orangku. Dia Linmas di Kebon Arum dan sudah sangat hapal dengan kondisi di desa ini."

"Terimakasih Pak," jawab Catur.

"Panggilkan Jaya!" perintah Surya ke salah satu aparat desa yang menemaninya berbincang-bincang dengan Catur dan Tiara.

Tak lama kemudian, Catur, Tiara dan Jaya sudah berdiri di depan rumah keluarga Tejo yang nyaris tak bersisa karena terbakar api.

"Separah ini..." gumam Catur sambil melihat ke arah puing-puing rumah yang terbuat dari kayu di depannya. Dia juga berjalan ke sana ke mari sambil sesekali mencongkel-congkel beberapa perabotan yang tersisa.

"Ada dua orang korban jiwa dan satu orang hilang dari kejadian ini, tapi kenapa pihak desa baru melaporkan kejadian ini setelah beberapa hari?" tanya Tiara tiba-tiba ke arah Jaya yang berdiri saja di halaman rumah.

"Rumah ini letaknya ada di ujung desa dan agak terpencil. Warga terlambat memberikan laporan ke perangkat desa," jawab Jaya setelah terlihat berpikir selama beberapa saat.

"Ini bukan sekedar kejadian pencurian atau perampokan biasa. Rumah korban dibakar. Sekalipun letaknya terpencil, api dan asap saat terjadi kebakaran pasti terlihat oleh warga dari kejauhan. Tak mungkin jika mereka tak mengetahui kejadiannya," bantah Tiara dengan nada penuh selidik sambil menatap tajam ke arah Jaya.

Jaya hanya mengangkat kedua bahunya dan tak menjawab apa-apa.

"Nggak masuk akal. Jangan-jangan, kalian memang..."

"Ra!!" potong Catur tiba-tiba dan membuat Tiara terdiam tak melanjutkan kalimatnya.

"Pak Jaya, di mana rumah tetangga terdekat dari keluarga Tejo?" tanya Catur dengan nada yang lebih pelan ke arah Jaya.

"Tetangga terdekat dari sini ada di sebelah sana," jawab Jaya datar sambil menunjuk ke arah selatan.

"Bisa antarkan kami ke sana? Aku ingin mendengar keterangan dari mereka," kata Catur.

Tanpa menjawab, Jaya berjalan dan menuju ke arah selatan yang barusan ditunjuknya. Tiara jelas meradang melihat sikap Jaya yang terlihat sama sekali tak menghormati mereka berdua. Catur memberikan isyarat kepada Tiara agar menahan emosinya dan menyusul Jaya yang sudah berjalan terlebih dahulu.

Setelah berjalan sejauh beberapa puluh meter ke arah selatan dari rumah Tejo melewati kebun kopi dan buah-buahan yang rimbun, mereka bertiga akhirnya sampai ke sebuah rumah sederhana dari kayu yang bentuk dan modelnya tak jauh berbeda dari rumah Tejo.

"Poniran!!!" teriak Jaya dengan suara keras setelah berdiri di depan pintu rumah berdinding kayu di depannya.

Catur mengrenyitkan dahinya. Dia merasa kalau sikap Jaya sama sekali tak sopan untuk ukuran tata krama di pedesaan. Saat berada di Kawengen, seorang Kades seperti Rojikin pun akan mengetuk pintu rumah warganya dengan sopan saat bertamu. Tapi ini?

Setelah menunggu selama beberapa saat, seraut wajah renta muncul di balik pintu rumah yang terbuka. Raut wajah itu terlihat kaget dan sedikit ketakutan ketika melihat sosok Jaya berdiri di depan pintu rumahnya.

"Poniran, ini ada dua orang polisi dari kota yang ingin menanyaimu soal keluarga Tejo. Kamu jawab yang benar!" kata Jaya datar.

Tiara dan Catur saling berpandangan mata untuk sesaat. Mereka merasakan ada sedikit nada ancaman dari kalimat Jaya barusan.

"Perkenalkan Pak, nama saya Catur dan ini rekan saya Tiara," kata Catur sambil mengulurkan tangannya ke arah laki-laki tua yang bernama Poniran itu.

"Kami tidak tahu apa-apa, Pak Polisi," jawab Poniran cepat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa menyambut uluran tangan Catur.

Catur mengrenyitkan dahinya.

"Pak Poniran tak perlu takut untuk menceritakan semuanya kepada kami," kata Tiara dengan nada pelan ke arah Poniran yang terlihat jelas sedang ketakutan itu.

Poniran tak menjawab dan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja sambil sesekali melirik ke arah Jaya yang hanya berdiri diam di sebelah Catur dan Tiara.

Catur menarik napas panjang, "Boleh kami masuk dan mengobrol di dalam, Pak?" tanyanya.

"Eh? Anu..." Poniran terlihat ragu-ragu untuk menjawab.

"Kami hanya sebentar dan ingin memastikan sesuatu saja kok," desak Catur.

"Monggo, silahkan masuk kalau begitu," jawab Poniran menyerah sesaat kemudian.

Catur dan Tiara lalu masuk ke dalam rumah. Jaya bergerak mengikuti mereka tapi Catur menghalangi langkahnya, "Kalau boleh, kami ingin berbicara dengan Pak Poniran saja, Pak."

Jaya mengrenyitkan dahinya tak suka tapi tak melawan keinginan Catur. Dia lalu berdiri diam di depan pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Catur masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rumah keluarga Poniran sesaat kemudian.

"Begini Pak Poniran, sebagai tetangga terdekat dari keluarga Tejo, apakah saat kejadian, Bapak melihat atau mendengar sesuatu yang mencurigakan malam itu?" tanya Catur sesaat kemudian setelah dia dan Tiara duduk di ruang tamu sederhana milik keluarga Poniran.

Poniran hanya terdiam saja dan menundukkan kepalanya tanpa menjawab.

"Bapak tak perlu takut. Kami selaku penegak hukum, akan melindungi saksi-saksi yang memberikan keterangan dalam kasus ini," bujuk Tiara ketika melihat sikap Poniran.

Poniran mengangkat kepalanya lalu melihat ke arah Catur dan Tiara. Terlihat sedikit nyala di mata Poniran untuk sesaat tapi nyala itu kembali redup sekejap mata kemudian, "Kami tak melihat apa-apa, Pak."

Catur dan Tiara menghempaskan napas panjang. Sebagai petugas, ini bukan kali pertama mereka berurusan dengan para saksi sebuah kasus kejahatan. Mereka tahu benar apa yang saat ini sedang terjadi. Poniran tak mau memberikan keterangan karena merasa keselamatannya terancam.

"Kami polisi, Pak. Kami yang berwenang dan berada di pihak yang benar. Kalau Bapak berubah pikiran dan ingin memberikan keterangan, silahkan hubungi nomor ini," kata Catur sambil memberikan kartu nama miliknya ke Poniran.

Poniran hanya menganggukkan kepalanya dan menerima kartu nama itu tanpa berkata apa-apa. Sesaat kemudian, Catur dan Tiara undur diri dan berjalan keluar meninggalkan rumah keluarga Poniran. Sekalipun mereka berdua tak mendapatkan keterangan apa pun, mereka mendapatkan sebuah petunjuk untuk kasus yang sedang mereka tangani saat ini.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang