Part 34

129 24 2
                                    

A Tong terdiam, otaknya agak kesulitan untuk mencerna kalimat penjelasan yang disampaikan oleh centengnya barusan. A Tong orang yang cerdas, jika dia tahu seseorang wanita adalah kekasih Joko Lelayu, apakah A Tong dengan nyalinya yang sebesar ujung jari kelingking itu akan berani menyentuh wanita itu?

Jawabannya jelas dan tegas, tidak!!!

A Tong punya dua hobi saja dalam hidupnya, wanita dan candu. Karena kedua itu bisa dia dapatkan dengan uang dan selama dia bisa mengendalikan hasratnya, uangnya tak akan habis tersedot ke situ. Berbeda dengan hobi yang digemari sejawatnya di kongsi dagang, mereka semua suka judi.

Judi memang sekilas adalah usaha yang menjanjikan untung luar biasa dan bisa membuat seseorang kaya raya hanya dalam semalam. Tapi di balik itu, ada ancaman yang sangat berbahaya dan bisa membuat kita kehilangan segalanya hanya dalam sekejap mata. Hal yang paling ditakuti A Tong dalam hidup ini tentu saja kehilangan semua uangnya. Karena itu, A Tong sangat membenci judi yang bisa membuatnya bangkrut dalam semalam.

Kembali ke soal wanita, A Tong sangat memilih sasarannya. Sebelum mendapatkan mereka, A Tong biasanya akan mencari tahu dulu latar belakang wanita itu. Dia tak ingin suatu saat ada segerombolan prajurit kadipaten datang ke rumahnya, atau puluhan murid salah satu padepokan silat menggedor-gedor kedainya.

Bertahun-tahun A Tong berhati-hati dalam menjalankan hobinya, hingga kini dia tak pernah menghadapi masalah yang berarti. Tapi, kata-kata centengnya barusan membuat A Tong tak habis pikir. Dimana letak kesalahan yang dia lakukan hingga membuatnya mengundang sang setan datang?

"Siapa wanita itu?" tanya A Tong yang segera berjalan cepat menuju ke rumahnya ditemani si centeng dan beberapa orang rekannya.

"Wanita itu Kinasih, Koh," jawab si Centeng cepat.

Tak lama kemudian, karena jarak rumah A Tong dengan pelabuhan yang memang tak begitu jauh, rombongan A Tong sudah berada di dalam rumahnya.

"Kinasih? Dari Karang Geneng?" tanya A Tong.

"Iya," jawab si Centeng.

"Kata Karang Geneng, dia adalah selir termuda dari Adipati Telomoyo. Karena Adipati sudah meninggal, wanita itu tentu saja bisa kita ambil," kata A Tong.

"Raden Karang keliatannya sudah membohongi kita, Koh," jawab Si Centeng, "Menurut informasi yang kudapat dari rekan Kinasih yang kita bawa bersama ke sini, nama asli Kinasih adalah Gendhis. Gendhis sudah menjadi kekasih Joko Lelayu sejak mereka remaja."

"Gendhis lalu diperistri Raden Karang dan beliau akhirnya tahu soal hubungan mereka berdua. Raden Karang murka. Dia lalu menghabisi keluarga Joko. Mungkin Raden Karang hanya menganggap Joko sebelah mata dan nekat melakukan hal itu. Keputusan Raden Karang itu ternyata salah besar."

"Kokoh mungkin sudah mendengar cerita selanjutnya. Joko mengamuk di Kadipaten Asem Rengket," kata si Centeng.

"Karang Geneng bedebah!!! Dia bilang wanita itu istri termuda ayahnya. Ternyata, dia pembawa bencana yang coba dilemparkan ke sini," geram A Tong penuh amarah.

"Bawa wanita itu kesini!!!" kata A Tong sesaat kemudian. Otaknya bekerja dengan keras bagaimana caranya agar dia bisa terlepas dari krisis ini, karena A Tong sadar sepenuhnya, beberapa saat lagi, sang malaikat maut yang bernama Joko Lelayu akan mengetuk pintu rumahnya.

Sementara itu, si malaikat maut yang ditakuti oleh A Tong memang sekarang sedang berdiri di depan rumahnya. Joko mengangkat kepalanya dan melihat ornamen-ornamen cantik yang terbuat dari kertas dan didominasi oleh warna merah itu.

Tapi Joko ke sini bukan untuk mengagumi budaya bangsa lain yang ada di depannya. Joko ke sini untuk membawa Gendhis dan memulangkannya kepada orang tuanya.

Braakkkkkkk.

Suara keras terdengar ketika Joko menendang keras pintu gerbang rumah yang ada di depannya. Pintu kayu yang terbuat dari jati pilihan itu terbang bagaikan layang-layang putus benang. Joko lalu melangkah pelan ke dalam halaman rumah yang luas tanpa rumput dengan sebuah jalan kecil membelahnya dari pintu gerbang menuju ke pintu utama rumah.

Di sebelah kiri dan kanan jalan kecil dari batu alam yang disusun itu, puluhan laki-laki dengan golok, tombak, clurit dan pisau di tangan, menunggu dengan raut muka tegang ketakutan. Entah mimpi buruk apa yang mereka alami semalam dan membuat mereka bertemu si setan yang berdiri di depan mereka sekarang.

Joko berdiri dan diam.

Tetapi, dengan reputasi yang mengerikan, dengan pakaian yang compang camping karena pertarungan, dengan darah mengering yang mengeluarkan bau anyir tak sedap di indra penciuman, hanya dengan berdiri diam saja telah membuat semua centeng si Lon Tong gemetar di tempatnya masing-masing.

"Mana A Tong?" tanya Joko pelan.

Tak ada sahutan dari rombongan centeng yang berada di halaman rumah itu.

"Dia hanya sendirian, tak mungkin dia bisa mengalahkan kita semua. Kalau kita bisa menghabisi Joko Lelayu, nama kita akan tenar!"

Seorang centeng dengan badan tegap dan kulit hitam legam berteriak memprovokasi teman-temannya. Joko menolehkan kepalanya dan melihat ke arah si centeng itu. Dia tak mengenalnya, tetapi kenapa si hitam itu mencoba untuk memprovokasi teman-temannya?

Joko tak segila itu. Dia bukan seseorang yang senang saat menyakiti orang lain. Sebisa mungkin, Joko ingin menghindari pertumpahan darah. Toh dia juga tahu, mungkin di antara para centeng itu, ada yang menjadi seorang ayah, ada yang sedang menunggui kelahiran putra-putrinya, ada yang kepulangannya ditunggu oleh orang tua mereka. Mereka punya kehidupan dan keluarga masing-masing, tak seperti dirinya.

"Iya!! Dia juga sudah terluka parah dan kelelahan. Dia tadi bertarung melawan Kala Gondang di pelabuhan," sahut centeng lainnya. Kali ini, Joko tak menolehkan kepalanya.

"Aku punya urusan dengan A Tong. Yang tidak merasa berkepentingan, silahkan tinggalkan tempat ini. Yang menghalangi jalanku, akan aku anggap musuh," kata Joko pelan dan datar.

Beberapa orang centeng saling bertatapan mata. Seperti sudah berjanjian sebelumnya, mereka melesat meninggalkan halaman rumah A Tong dalam sekejap mata. Bagi mereka, ada yang lebih berharga dibandingkan uang tak seberapa yang mereka terima sebagai bayaran untuk menjadi centeng si A Tong.

Kini hanya tinggal beberapa orang saja di halaman rumah A Tong. Joko melihat ke arah sekelilingnya. Ketika dia melihat wajah dan tatapan mereka satu persatu, Joko tahu, pertarungan tak bisa dihindari lagi. Karena kini yang tersisa di halaman ini adalah orang-orang seperti dirinya sendiri, orang-orang yang tak memiliki rumah tempat untuk kembali.

"Modyarrr kowe, Joko!!"

Tanpa dikomando, tanpa diaba-aba, pertarungan pun dimulai. Beberapa orang centeng yang mengelilingi Joko merangsek maju dengan senjatanya masing-masing di tangan. Mereka adalah para veteran yang bukan sekali dua terlibat dalam pertarungan. Keriput yang terlihat di kulit mereka tak bisa ditutupi oleh kegarangan yang coba mereka tunjukkan.

Dari sorot mata mereka, Joko tahu kalau mereka sudah lelah. Mereka seolah memohon kepada Joko untuk mengakhiri kisah hidup mereka dengan sebuah cerita penutup yang akan dibicarakan oleh banyak orang selama bertahun-tahun ke depan.

"Kami mati di tangan Joko Lelayu saat menjalankan tugas kami."

Sebuah akhir cerita yang luar biasa bagi para centeng bayaran.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang