Part 8

975 85 10
                                    

“Kamu mau kemana Nduk?” tegur si Nenek ketika Sekar berpamitan dengannya siang itu.

Sekar bertemu mereka pagi ini. Setelah isak tangisnya mereda, Sekar menceritakan apa yang keluarganya alami tadi malam. Kakek dan Nenek beberapa kali hanya bisa tercekat kehilangan kata-kata ketika mendengar tragedi yang menimpa keluarga Sekar.

“Sekar ingin lari Buk. Kalau Sekar tetap disini, itu akan membahayakan Bapak dan Ibu,” jawab Sekar.

“Lari kemana Nduk? Kamu tidak punya siapa-siapa lagi kan? Kamu juga hanya membawa selembar kain di tubuh saja,” sergah Nenek.

“Sekar tidak tahu Buk, tapi Sekar merasa itu yang harus Sekar lakukan,” kata Sekar.

Kakek berdiri dan masuk ke dalam kamar. Dia memegang sebuah bungkusan di tangannya. Nenek tersenyum kecil dan hanya menganggukkan kepalanya saat melihat Kakek.

“Ya sudah kalau itu memang kemauanmu. Bawa ini, untuk bekal di jalan,” kata Kakek sambil mengulurkan bungkusan plastik berwarna hitam yang dia pegang.

“Makasih Pak, tapi Sekar tidak bisa menerimanya. Sekar sudah banyak menerima kebaikan dari kalian berdua,” tolak Sekar.

“Nduk, kami ini sebatang kara. Kami tak punya anak cucu. Selama ini, kami selalu pusing dengan apa yang akan kami lakukan dengan ini. Kami rasa, ini lebih berguna untukmu,” kata Kakek.

Mata Sekar terlihat memerah dan dia ingin kembali menangis. Tangannya terulur untuk menerima kantong plastik hitam dari tangan si Kakek. Dia tahu apa isi dari kantong itu.

“Ganti bajumu Nduk, aku masih punya baju-baju lama yang sesuai untukmu,” kata Nenek sambil mengajak Sekar masuk ke dalam kamarnya.

Kakek hanya melihat saja keduanya masuk ke dalam kamar.

=====

Sebuah mobil SUV berwarna hitam melaju kencang membelah jalanan pegunungan yang berkelok dan naik turun itu. Sekalipun Kebon Arum dan Pinggir Alas hanya dibatasi oleh sebuah gunung, tapi untuk menuju ke desa Pinggir Alas dengan menggunakan mobil, Jati Wangi dan anak buahnya harus mengelilingi gunung itu terlebih dahulu.

Perjalanan itu membutuhkan setidaknya 2 -3 jam perjalanan. Waktu yang cukup untuk membuat Jati Wangi makin gusar dan terus memaki di dalam mobilnya.

Jati Wangi tahu, saat dia nanti tiba di Pinggir Alas, waktu setidaknya akan menunjukkan tengah hari. Entah sudah lari kemana si Sundel Cantik yang memenuhi khayalan mesumnya itu.

“Lebih kencang lagi!!” perintah Jati.

“Ini sudah lari berapa, Juragan?” jawab Jaya sambil menunjuk ke arah speedometer di depannya yang memperlihatkan angka 105km/jam.

Jati Wangi terdiam. Beberapa saat kemudian, “Kamu tahu dimana tembusnya yang dari desa kita?” tanyanya.

“Di sana,” jawab Jaya sambil menunjuk ke lereng yang agak menanjak di kejauhan.

“Hmmm,” jawab Jati Wangi sambil berdehem saja.

=====

Bruaaaakkkkkkkkk.

“Bangsat!!! Katakan, kemana larinya si sundel itu?” teriak Jati ke arah Kakek yang terkapar di tanah setelah terkena bogeman mentah Jaya barusan dan menabrak meja kayu di belakangnya.

“Jangaann!!!” teriak Nenek sambil memeluk tubuh suaminya yang terkapar dan bergetar.

Nenek menangis meraung-raung sambil terus memeluk suaminya.

“Angkat dia, bawa ke kamar, ikat!! Aku ingin informasi Sekar keluar dari mulut suaminya,” kata Jati sambil menunjuk ke arah Nenek.

Dua orang anak buah Jaya bergerak dan menyeret Nenek yang terus meronta dan memegangi tubuh suaminya. Tapi, apalah daya tenaga seorang wanita renta melawan dua orang pemuda yang bertubuh kekar dan masih perkasa.

“Massss….” teriak Nenek pilu sesaat sebelum menghilang di dalam kamarnya.

“Bedebah tua. Dia bukan siapa-siapamu, kenapa kau harus melindunginya? Katakan saja, lalu aku akan pergi dan semua ini tak pernah terjadi,” kata Jati Wangi.

Kakek mencoba bangkit dengan tubuhnya yang bergetar. Dia perlahan-lahan mengangkat wajahnya dan menatap ke mata Jati Wangi.

“Kalau lah Iblis ada disini sekarang, mungkin dia malu karena merasa tak lebih keji dari dirimu,” kata Kakek pelan.

Raut muka Jati yang tadi terlihat mulai rileks, tiba-tiba saja kembali memerah dan emosi dalam dadanya memuncak.

“Dasar tua bangka tak tahu aturan. Kau kukasih hati, masih meminta ampela?” teriak Jati sambil berdiri dan meraih kursi yang ada di dekatnya.

Bruakkkkkk.

Bruakkk.

Bruakkkkkk.

Jati mengayunkan kursi kayu di tangannya berkali-kali untuk memukuli Kakek yang terkapar di tanah. Kursi itu pecah berhamburan dan hanya menyisakan satu buah kaki saja yang dipegang oleh Jati di tangannya.

Huft huft huft.

Jati terengah-engah kehabisan napas dengan tubuh yang berguncang-guncang. Seorang anak muda bejat seperti dirinya, tubuhnya sudah rusak oleh pengaruh alkohol dan wanita sejak usia belia.

Jaya dan kedua anak buahnya hanya memperhatikan saja tanpa menunjukkan sedikit pun rasa iba untuk si Kakek yang sekarang diam tak bergerak di lantai tanah dengan kepala yang berlumuran darah.

“Kau!!” teriak Jati dengan suara bergetar ke arah salah satu anak buah Jaya, “Periksa dia, sudah mati atau belum.”

Si anak buah dengan cepat mendekat dan menggunakan jari telunjuknya untuk merasakan detak nadi di leher Kakek. Setelah beberapa menit mencoba dan tak mendapatkan hasil, dia menggeleng-gelengkan kepalanya kepada Jati sebagai tanda bahwa si Kakek sudah tak bernyawa.

“Setaaaaannnnn!!!” teriak Jati sambil melemparkan potongan kaki kursi di tangannya ke arah lemari kayu yang ada di ruang depan rumah ini dan membuat penutup kaca yang ada di depannya pecah berkeping-keping.

“Kemana lagi kita harus mencari dia kalau sudah begini!!”

“Tak ada lagi petunjuk.”

Jati seperti orang yang kesurupan sambil meraih kayu yang entah dia dapat dari mana dan mulai menghancurkan semua perabotan yang ada di rumah ini tanpa ampun.

“Juragan,” panggil Jaya tak lama kemudian.

“Apa?” tanya Jati.

Jaya memberikan isyarat kerlingan mata ke arah kamar. Jati paham apa yang dia maksud.

“Habisi sekalian!” jawab Jati pendek dan tegas.

Tak lama kemudian, api yang menyala besar melahap seluruh isi rumah yang terbuat dari dinding kayu beratapkan genteng tanah liat itu.

Jati dan kelima anak buahnya berdiri di depan rumah dengan api yang berkobar itu selama beberapa detik sebelum akhirnya melambaikan tangan ke arah anak buahnya, mengajak mereka untuk meninggalkan tempat ini sebelum ada warga desa yang lain datang.

Tapi langkah mereka berenam terhenti.

Sesosok gadis cantik rupawan yang mengenakan celana kain berwarna hitam dan kaos berwarna hijau muda dengan rambut dikuncir di belakang dan menyisakan beberapa helai rambut di bagian depan, berdiri tepat di tengah jalan dengan tatapan terpaku ke arah rumah kayu yang terbakar itu.

Si gadis mengenakan tas selempang kecil di badannya dan sepasang sandal jepit merk Swallow berwarna biru tua di kakinya. Semua yang menempel di badannya saat ini adalah pemberian dari keluarga baik hati yang dia temui pagi ini. Pasangan suami istri yang dengan ikhlas memberikan yang mereka miliki untuk seseorang yang bahkan tidak mereka kenal sama sekali.

Pasangan baik hati yang gadis itu tahu, sekarang ikut terbakar dalam rumah kayu di depannya.

Pasangan baik hati yang tidak hanya kehilangan hartanya tapi juga kehilangan nyawanya karena kebaikan yang mereka lakukan tanpa sengaja.

Air mata terlihat mengalir di pelupuk mata Sang Gadis.

Dia menyerah.

Dia tak ingin berlari lagi.

Entah akan ada berapa keluarga baik hati lainnya yang akan menjadi korban karena pelariannya.

Namanya Sekar, dan dia tak ingin berlari lagi.

SekarWhere stories live. Discover now