CHAPTER 6

449 108 14
                                    


~Π~

Semua yang Mara inginkan hanyalah hidup dalam kedamaian.

Walau harus sendirian..
Walau dalam kesusahan..
Atau bahkan dilanda kelaparan.

Ia sama sekali tidak mempermasalahkan itu semua selama dirinya bisa terbebas dari 'Sangkar' menyesakkan yang selalu memenjarakkannya.

Mara rela menjalani hidup terseok-seok di Negeri orang demi untuk mengejar impiannya.

Tapi bukan itu tujuan satu-satunya.

Tujuan utama Mara melarikan diri jauh-jauh ke Amerika adalah untuk menghindari Keluarganya. Dari jeratan ayah, ibu, sepupu-sepupunya dan teman-teman palsu yang selalu mengelilinginya selama ini.

Dirinya pikir dengan semua rencana pelarian ini, maka ia akan bisa memulai hidup baru dan melupakan segalanya.

Mara kira dia sudah terbebas seutuhnya dari orang-orang yang selalu membuat dadanya sesak itu.

Tetapi, ternyata salah!

Belum cukup kemalangan menimpanya karena bertemu Theodore Tjo Soekotjo. Sekarang Dirinya lagi-lagi dihadapkan dengan nasib buruk karena harus dipertemukan dengan seseorang yang bahkan paling ingin ia hindari seumur hidup. Seolah-olah Tuhan ingin menguji kesabarannya.

Dan disinilah ia sekarang!

Tergagap di dalam lift berhadapan dengan takdir yang lucu. Bertemu dengan kakak tirinya, Hendry Tjo Soekotjo. Orang yang paling membenci Mara di dunia ini.

Gadis itu mematung, wajahnya pucat, tatapannya terkuci dengan pria tinggi di hadapannya. Pada akhirnya, Mara kembali melihat mata tajam itu. Mata yang kerap memandang remeh dirinya sejak dulu.

Masih sama seperti dulu, aura intimidasi yang kental dari Pria dewasa di depannya menguar memenuhi atmosfear disekeliling mereka, hanya saja kali ini sosok itu muncul dalam tampilan yang lebih maskulin lagi.

Waktu seakan terhenti diantara keduanya yang sama-sama terdiam.

Dalam hati, Mara terus berharap bahwa ini hanyalah mimpi.

Sayangnya, angan gadis itu tersadarkan oleh sebuah suara berat milik pria di hadapannya.

"Your Bag."

Ucap suara Baritone itu, menyerahkan sebuah sling Bag berwarna Pink-Pastel.

Mara sedikit tersentak. Seakan ditarik ke kenyataan. Kesadarannya kembali. Gadis itu reflek menyentuh bahunya. Ia baru tersadar bahwa tas nya terjatuh ketika bertabrakkan dengan Pelayan tadi.

Mara menatap ragu-ragu tangan kokoh yang terjulur di depan, menyuguhkan tas miliknya.

Tenanglah.. Anggap dia hanya orang asing.

Mau tak mau, dengan gerakkan secepat kilat, gadis itu menyambar benda tersebut.

"Thanks," ucapnya amat pelan, seperti cicitan.

Setelah memberikan benda itu, tanpa di duga Pria itu menarik tangannya-melangkah mundur-sehingga pintu lift bisa tertutup kembali.

Perlahan kedua pintu besi itu pun mulai tertutup, memutus jarak diantara mereka.

Mara bisa melihat ada sedikit keraguan di dalam ekspresi datar Pria itu sebelum memutus kontak dan membuang pandang ke bawah.

Nafas Mara mulai kembali teratur.
Hatinya mulai sedikit lega.

Sayangnya, tepat di detik terakhir sebelum pintu lift benar-benar tertutup rapat, tiba-tiba Pria itu malah menahan pintu Besi tersebut agar kembali terbuka.

CASTLE MADE OF GLASS : BOOK I Where stories live. Discover now