CHAPTER 9

428 99 12
                                    


~Π~

Sedari sore hujan terus mengguyur dengan deras walau kini waktu telah menunjuk pukul setengah 11 malam.

Sialnya, Mara masih terjebak di tempatnya bekerja karena lupa membawa payung. Wajahnya muram memandangi susana gelap di luar sana lewat Jendela.

Mulai hari ini dia berjanji bahwa tidak akan pernah percaya dengan Ramalan Cuaca di internet lagi. Bullshit dengan itu semua!

Semakin mendekati Musim Panas cuaca di Kota itu menjadi semakin berubah-ubah. Akhir-akhir ini kadang awannya terang sekali lalu tiba-tiba hujan deras dalam satu hari yang sama. Benar-benar Pancaroba yang aneh, Mara membatin.

Tadinya dia pikir hujannya mungkin akan reda jika ia menunggu dengan sabar, maka dari itu Mara menolak tawaran teman kerjanya yang mau berbagi payung. Lagipula Gadis itu juga sungkan karena kebanyakan dari para pekerja di sana rumahnya berlainan arah dengannya.

Dan disinilah ia sekarang.
Terduduk di dekat Jendal sambil mengetuk-ngetukkan telunjuk di atas meja, menghitung waktu dengan perasaan menyesal. Berharap hujan di luar sana akan segera berhenti. Namun, sayangnya guyuran air malah makin deras. Membuat pemandangan di luar di penuhi kepulan kabut dingin. Membuat Mara menghembuskan nafas putus asa. Bertanya-tanya sampai kapan ia akan terjebak di dalam Cafe ini, batinnya.

Tiba-tiba sudut matanya menangkap sesuatu. Ia pun reflek menatap ke luar dan seketika senyuman mengembang di wajah muramnya.

Di luar sana, berdiri Tama membawa dua payung di tangannya sambil tersenyum hangat ke arahnya.

Melihat hal tersebut membuat Mara langsung menghambur ke luar Cafe tanpa berpikir lagi. Tama yang kaget segera memayungkan Mara ketika sampai di luar.

"Kenapa kau bisa disini?"

Mara terkejut bercampur senang melihat kehadiran Tama yang selalu bak malaikat di hidupnya. Ajaib! Pria itu terus-terusan muncul di waktu sulitnya.

"I just think, I want to see you," senyum lelaki itu, lalu menyerahkan payung satunya pada Mara.

Mara menerima payung tersebut dan tersenyum ke arah Tama dengan perasaan lega.

Setelah itu, akhirnya mereka berdua berjalan beriringan di bawah derasnya hujan menuju stasiun bawah tanah. Tama berniat mengantar Mara sampai tepat di depan apartmentnya malam ini karena khawatir. Di sepanjang perjalanan mereka mengobrol ringan.

"Musim panas sebentar lagi, apa kau pulang ke Indonesia?" tanya Tama duluan. Dia agak sedikit meninggikan suara untuk mengimbangi intrupsi dari suara hujan.

"Tidak," jawab Mara yang sama lantangnya.

Bahkan saat ia mengatakan kata 'Tidak' gadis itu tak perlu repot-repot berpikir sejenak.

"Kenapa? Apa kau tidak merindukan keluargamu?" Tama sedikit merasa aneh.

Rasanya Mara ingin tertawa saat itu juga. Mengingat kata 'Keluarga' adalah sebuah mimpi buruk baginya.

"Aku pikir, aku butuh waktu untuk mengumpulkan lebih banyak uang agar bisa pulang. Mungkin tahun depan aku baru bisa pulang dan lagipula itu bukanlah kebutuhan yang mendesak untuk saat ini." Mara berdalih.

"Begitu."

Mara mengangguk pelan.

"Ngomong-ngomong ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin mencoba menceritakan ini padamu." intonasi Tama seketika berubah menjadi serius, namun masih dengan suara keras agar terdengar oleh gadis di sampingnya.

CASTLE MADE OF GLASS : BOOK I Where stories live. Discover now