CHAPTER 4

452 113 15
                                    


~Π~

5 Tahun kemudian ~

Disuatu siang yang cerah, burung-burung berkicauan di dahan pohon. Angin Bulan Januari mulai bertiup segar menerpa tiap dedaunan. Memberi kedamaian dan ketentraman untuk Hari Minggu, Kota Jakarta.

Di sebuah kediaman megah ber-cat putih-hitam bergaya American Classic. Terdengar alunan musik klasik menenangkan telinga mengalun indah memenuhi seisi ruangan salah satu kamar di dalam rumah mewah yang terletak di jantung Kota tersebut.

Irama samar itu mulai terdengar dari ruang tamu, lalu suaranya makin terdengar jelas sampai ruang makan, hingga sampailah ke sumber suara. Tepatnya di lantai 3, kamar terpojok di ujung lorong.

Di balik pintu kayu-putih-itu, nampaklah sebuah kamar luas yang didominasi oleh warna Pink-putih pastel, bertema Girly namun begitu mewah.

Tepat di depan jendela besar terlihat seorang gadis cantik sedang duduk, tangannya begitu lihai memainkan kuas. Memberi guratan-guratan perpaduan warna, mengisi Kanvas putih di hadapannya. Musik klasik yang sedaritadi mengiring lembut dari piringan hitam disebelah-nya menjadi teman satu-satu-nya. Menambah ketenangan serta kenyamanan untuk batinnya.

Gadis berambut panjang, bermata pekat itu adalah Mara. Kini ia sudah menginjak usia 18 Tahun. Mara tumbuh menjadi gadis cantik yang sangat menawan. Kecantikannya turun langsung dari Helni, ibunya. Bukan hanya sekedar indah di paras. Sejumlah prestasi baik Akademik maupun Non-akademik juga turut ia lahap. Semua pencapaian itu terpampang nyata dari piagam serta piala yang dipajang di dalam etalaes ruang keluarga tepat di samping etalase milik Hendry.

Selama 5 tahun ia terus di tempa habis-habisan dari berbagai sisi hingga akhirnya lahirlah sosok baru dirinya yang begitu sempurna. Tidak ada sedikitpun cacat yang ditemukan. Dirinya dan Hendry bahkan hampir sejajar. Hanya tinggal sedikit lagi.

Namun menurut orang tuanya masih banyak ketertinggalan yang harus ia kejar. Langkah Hendry di depan masih begitu panjang untuk ia ikuti. Mereka belum puas dengan semua penghargaan yang telah Mara raih selama 5 tahun ini.

Bahkan bagi Mulyawan dan Helni Semua itu masih terlalu dini untuk disebut 'pencapaian'.

Brak...

Pergerakkan tangan Mara terhenti di udara tatkala mendengar suara pintu kamar dibuka kasar.

Helni masuk beserta dua pelayan pribadi Mara yang mengikuti di belakang.

"Ohh astaga. Kau tahu sudah berapa lama kami menunggumu bersiap?! Dan ternyata kau masih melukis di sini!!"

Wanita berkepala pertengahan 40 an itu masihlah cantik seperti dulu. Tidak luntur sedikitpun, sebaliknya malah bertambah.

"Ya.. ampun lihatlah kamar ini penuh dengan lukisan! Ibu harap kau tidak menyeriusi pekerjaan ini."

Helni menatap sekeliling kamar dengan tatapan aneh. Banyak hasil karya artistik Mara terpajang di dinding-dinding kamar. Mulai dari gambar abstrak hingga lukisan pemandangan, tapi kebanyakan didominasi oleh lukisan bergambar Rumah.

Mara menoleh sedikit, melihat Helni yang sudah rapih dengan balutan Dress hitam mengkilat dan berbagai perhiasan bergelantung di tubuh.

"Tenanglah Ibu, ini hanya hobi sebagai pelepas stress," jelas gadis itu santai, namun dengan sedikit penekanan di akhir kalimat.

Memang, selama 3 tahun terakhir gadis itu akhirnya menemukan ketenangan dalam melukis. Rasa stress akibat tekanan dari keluarga dan lingkungan sosialnya perlahan berkurang setelah ia mulai mengenal seni lukis. Ia bisa dengan bebas menuangkan segala keresahannya dalam lukisan. Walau pada awalnya orangtua gadis itu sempat khawatir jika ia terlalu masuk ke dunia seni akan mempengaruhi masa depannya kelak, namun pada akhirnya mereka membebaskan Mara melakukan apapun yang Gadis itu mau selama itu hanya Hobi dan tidak lebih. Mengingat nyatanya hanya melukis yang bisa menjadi pelarian terbaiknya. Membuat Mara bisa berdiri hingga sejauh ini. Melewati semuanya.

CASTLE MADE OF GLASS : BOOK I Where stories live. Discover now