40. Pikiran

726 191 32
                                    


Ada author's note di bawah. Tolong dibaca, ya ^^

Enjoy Reading!

——————-

Besok sudah masuk sekolah seperti biasa –dalam artian masuk pagi semua, dan Janu masih terjaga. Hari belum berganti, tapi jalanan di depan sudah sepi. Penjual mie tek-tek keliling sudah lewat dua kali dan tidak akan kembali. Namun, Janu masih setia di teras depan dengan berpuntung-puntung rokok.

"Hati-hati, dua kali azan lagi," celetuk Bang Rendra dari balik pintu kos yang terbuka.

Janu menengok dan mengernyit heran. "Apanya?"

"Nyawa lo," jawab anak kuliahan itu asal sebelum langsung kabur ke dalam kamarnya.

Mendengus, Janu kembali tenggelam dalam lamunannya. Dari pukul sembilan hingga setengah dua belas malam, remaja tanggung itu masih setia duduk di dipan teras. Awalnya hanya berniat mabar, lalu setelah selesai malah jadi memikirkan banyak hal.

Ia melirik ke asbak yang ada di sampingnya. Sudah dipenuhi oleh sisa rokok yang entah jumlahnya berapa. Selama belum habis satu bungkus, menurut Janu masih batas aman. Padahal bisa dipastikan besok dia akan batuk terus seharian.

Habis lulus, mau kemana?

Mau jadi apa?

Topik overthinking pertama. Sangat klise dan umum ditemukan pada remaja-remaja seumuran Janu. Apalagi buat anak tahun terakhir dan di jam-jam rawan seperti ini.

Beberapa jam yang lalu juga ayahnya baru menelepon. Bertanya mengenai apa Janu sudah tau mau kuliah di mana. Cowok itu menjawab jujur dan dibalas dengan desahan pasrah. Ayahnya pasti tidak berekspektasi apa-apa kepada anak tengahnya yang sedang merantau.

Topik overthinking kedua malam ini, sekaligus yang menyita paling banyak waktu; bagaimana nasib rebels?

Guru-guru sudah mengultimatum. Hukuman berat bisa saja menanti di depan kalau sampai ketahuan. Bayang-bayang dia yang akan tinggal kelas atau paling buruknya, di-DO makin terasa jelas.

Yah, udah cukup buat cowok itu main-main. Tiga tahun SMP yang diisi main, tawuran dan nongkrong sesuka hati udah lebih dari cukup. Dua tahun pertama SMA juga udah lumayan seru dengan selalu ikut main dan kumpulnya Mafias Madivas.

Tinggal di tahun terakhirnya, yang justru dibuat kayak rollercoaster. Pake segala ngebentuk kelompok pemberontak yang kerjaannya nge-spill mulu. Begitu kena tuduhan, langsung kepikiran kayak sekarang.

Selain tentang dirinya, rebels juga tentang empat adik kelasnya. Ada Jani, yang Janu tahu punya keluarga cukup strict tentang masalah akademik. Tapi emang dasarnya bengal, Jani tetep aja pake gaya sendiri. Si Bungsu yang beda dari kakak-kakaknya. Tapi itu yang Janu suka dari Jani.

Ada Hardan, yang Janu tahu lagi struggling sama diri sendiri. Konflik keluarga cowok itu rumit, ditambah Hardan juga bukan orang yang terbuka. Tapi gitu-gitu, Hardan tetep masuk papan atas ranking kelas. Reputasinya juga bagus di mata guru walaupun kelihatan dingin.

Ada Dion, yang Janu yakin ini yang paling normal background keluarganya. Ngga banyak nuntut, kasih batas yang jelas dan lumayan hangat. Kenapa Janu tahu? Dia pernah ikut makan malam keluarga itu waktu nginep bareng Hardan di rumah Dion. Tapi, deep down Janu tahu kalo Dion punya ketakutannya sendiri.

Lalu yang terakhir, ada Wanda. Yang dari luar keliatannya manis dan banyak enaknya. Kaya, perilakunya baik, ramah dan rajin. Tapi banyak yang ngga tahu kalo itu semua cuma di permukaan. Wanda lebih dari itu semua dan Janu tau itu.

The Rebels ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang