21. Break

834 201 18
                                    




Bakal agak panjang dan drama, enjoy reading!


----------------


"Jan, kok lo akhir-akhir ini udah jarang keliatan bareng Kahfi lagi?" tanya Kia keesokan hari saat jam kosong pelajaran terakhir.

Jani yang tadi sedang menggambar ular di halaman belakang buku tulisnya langsung terdiam. "Keliatan banget, ya?" tanya cewek itu sambil menengok ke teman semejanya.

Kia mengangguk pelan dengan wajah prihatin. "Ada masalah?"

Jani mengangkat kedua bahunya. "He's kinda different lately."

"Ah, i see. Soalnya lo berdua jarang berantem. Gue jadi was-was kalo ada apa-apa." Kia berujar sambil mengangguk mengerti.

Menjadi teman dekat Jani sejak masih utas membuat Kia sedikit banyak hafal gaya pacaran Jani dan Kahfi. Udah beberapa hari terakhir ini Kia perhatiin, teman semejanya itu berangkat dengan Masnya dan pulang dengan ojek online. Di sekolah pun jarang keliatan berdua dengan Kahfi.

Jani menopang dagu dengan tangan kanannya. "Dia jadi sering bales singkat akhir-akhir ini. Gue tau banget ini bukan gaya chat-nya kalo lagi normal. Tapi gue ngga tau kenapa, Ki. I'm totally clueless."

"Minggu lalu gue pikir karena dia sibuk atau capek. Beberapa anak Jurnal ada yang mau ikut lomba terus dia yang ngurusin. Mana udah mau pemilihan caketos gini, Jurnal juga ikut ngawal bareng OSIS, kan. Gue tunggu dia cerita, taunya ngga ada tuh. Masih tetep cuek. Gue ngga mau kayak cewek yang begging perhatian banget, cuma ya kalo dia lagi ngerasa gimana, seenggaknya kasih tau gue, gitu."

"You did something wrong, mungkin, Jan?" tanya Kia pelan.

Jani menghembuskan nafas. "Gue ngga merasa dan sekalipun iya, gue juga ngga tau salah dimana, Ki. Udah jarang telfonan, ngechat cuma buat say hi pagi sama malem, pulang pergi sendiri-sendiri. Lo aja yang orang luar bisa ngeliat itu, apalagi gue yang ngerasain?"

"Lo ajak ngobrol aja, Jan. Mungkin dia butuh approach dari lo duluan."

"Hmm..." Jani hanya bergumam sambil berpikir.

Selama berhubungan dengan Kahfi sejak SMP, mereka itu jarang bertengkar. Mungkin karena perangai keduanya yang bisa saling mengerti satu sama lain. Baik Kahfi maupun Jani sama-sama sepakat buat ngga terlalu posesif dan protektif terhadap satu sama lain. Paling ya masalah Mahen kayak waktu itu. Tunggu, Mahen?

"Mampus!" umpat Jani sambil menepuk kepala saat ia baru tersadar sesuatu.

"Apa jangan-jangan dia ngeliat gue sama Mahen minggu lalu, ya?" lanjut cewek itu panik. Kia hanya bisa menepuk bahu Jani tanda moral support karena Kahfi bisa berubah menjadi posesif kalau ada hubungannya dengan Mahendra si agit Mafias.

Begitu bel pulang sekolah terdengar, Jani langsung melesat ke luar kelas dengan tas di punggung. Dia menghampiri Kahfi yang masih membereskan tas di kelas sebelah. "Fi, ikut aku."

Kahfi tidak membalas. Dia hanya lanjut memasukkan buku dan barang-barang lainnya ke dalam tas dan memandang Jani dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ayo," ajak Jani sambil menarik lengan cowok itu.

Kini keduanya ada di taman samping sekolah yang sepi. Seperti saat setelah kejadian Kahfi dipanggil ke ruangan kepala sekolah beberapa waktu lalu, mereka berdua duduk berdampingan di bangku taman. Namun bedanya, atmosfer yang ada di tengah-tengah mereka terasa canggung saat ini.

"Ak-"

"Kam-"

Mereka berdua berujar bersamaan. Kahfi lalu menatap mata Jani. "Kamu dulu. Ladies first."

The Rebels ✓Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ