16. Rencana

812 213 11
                                    

"JANUAR!"

"Taro meja gue, Han!" teriak Janu tak kalah kencangnya. Fokus cowok itu sepenuhnya ada pada ponsel.

"Ambil sendiri!"

"Mal, ambilin dong. Sekalian punya lo." Janu berujar dengan mata yang tetap tertuju pada layar persegi panjang. Capek juga dia teriak-teriak dari pojok kelas nyahutin Hani si sekretaris kelas.

"Kan gue mabar sama lo, tolol. Nanti aja ah, tanggung," balas Kamal yang sedang dalam posisi 11 12 sama Janu. Sama-sama lagi megang ponsel buat mabar.

"Ini sebangku sama-sama budek apa gimana, sih?! Kamal-Januar!" teriak Hani sekali lagi, tapi langkahnya mendekati meja Kamal dan Januar di belakang kelas.

"Bacot banget, sekretaris apa toa kelas, sih?" balas Janu. Kesal juga dia, lagi mabar malah diganggu.

"Heh!" bentak Hani sambil memukul permukaan meja Kamal. "Ini buat UTS lo berdua. Udah kelas 12 masih aja, anjir. Kaga ada berubahnya."

"Taro aja di meja, nyai. Nanti gue sama Janu tanda tangan di depan. Oke? Oke," ucap Kamal menengahi Janu dan Hani. Padahal cuma ngebagiin kartu ujian buat UTS minggu depan tapi malah dijadiin ajang ribut sama mereka.

Selepas pembagian kartu ujian yang diwarnai drama teriakan si sekretaris, anak 12 IPS 3 mulai berhamburan ke luar kelas untuk pulang. Tapi di dalam kelas masih ada Kamal, Januar dan beberapa anak cowok lain yang memilih mabar di pojok kelas. UTS? Apa itu?

"Revive dulu guenya, anjing!"

"Babi, musuh di depan, woy!"

"Nyet, bagi peluru ijo, dong!"

"Bangke, AWM!"

Tak peduli kalau mereka baru saja menyelesaikan Jumat Bersih alias membersihkan kelas sebelum pembagian kartu ujian, nama-nama hewan semuanya tetap disebut dengan fasih. Ternyata bersih-bersih tadi tidak ikut membersihkan mulut mereka dari kata-kata kasar.

Di sela-sela berbagai umpatan, kadang para jejaka ini juga bergunjing. Emang ngga sesering anak ceweknya, tapi cowok kalo julid juga ngga main-main, loh.

"Eh, ceweknya siapa sih?" tanya salah satu cowok dengan mata yang tetap tertuju pada layar ponselnya.

"Cewek siapa?"

"Itu, cewek yang main sama guru Fisika."

Janu terdiam sejenak. Dia memasang telinganya dengan baik untuk dapat mendengar pergunjingan yang berada di antara umpatan-umpatan nama hewan.

"Anak Madivas katanya. Jan, lo tau, kan?" Salah satu teman sekelasnya menyenggol lutut Januar. Spontan cowok itu langsung memasang tampang pura-pura bego.

"Apaan?"

"Cewek yang main sama guru Fisika itu anak Madivas, kan? Siapa, dah?"

"Kata siapa, anjir?" Janu pura-pura kaget aja, deh.

"Janu mah Mafias gadungan. Mana ngikutin dia gosip kek gitu," sahut Kamal cuek. Lagi, fokus mereka masih kepada ponsel masing-masing. Tapi otak Janu tetap bekerja keras untuk mengikuti alur percakapan.

Sebagai teman sebangku atau bahkan teman terdekat cowok itu hingga kelas 12, Kamal sudah hafal perilaku Januar. Ke sekolah hanya bawa buku seadanya, tugas dikerjain kalo inget, ada ulangan belajarnya pas hari H. Kamal juga tau gimana Janu ke anak Mafias lain walaupun dia bukan bagian dari Mafias. Janu masuk Mafias karena ajakan kakak kelas waktu masih ljadi utas, eh keterusan sampe sekarang.

The Rebels ✓Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu