• EPISODE#1 •

83.8K 9.2K 2.5K
                                    

Happy reading!

•••

"Selamat pagi papa!" Bella berteriak dengan suara cemprengnya, di mana posisinya saat ini tengah berada di lantai atas—depan tangga. Setelah melakukan rutinitasnya, dia kembali berlari menuruni tangga tanpa memperdulikan keselamatannya—membuat Kenzie yang berada di lantai bawah hanya bisa mengelus dada.

"Kebiasaan. Lama-lama papa bisa kena serangan jantung kalau lihat kamu berlari seperti itu." ujar Kenzie yang langsung menangkap tubuh Bella dan menggendongnya seperti menggendong anak kecil.

Bella terkekeh. Dia mengecup pipi ayahnya kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu. "Papa tenang saja. Kalau papa kena serangan jantung, Bella akan dengan senang hati menyumbangkan jantung Bella untuk papa." ujar Bella dengan tersenyum lebar.

Kenzie berdecak. "Enak saja. Tidak, tidak boleh! Kalau sampai kamu melakukan itu, Papa akan jadi orang pertama yang akan membencimu." ujarnya tegas. Bahkan rahangnya sampai mengeras menandakan ia sangat tidak menyukai gagasan dari putrinya itu.

"Papa bahkan rela mati agar putri papa bisa bahagia." lanjutnya dengan menyematkan sebuah kecupan di pelipis Bella.

Mata Bella bersinar haru, ia semakin mengeratkan pelukannya. "Papa sweet banget sih. Kalau kayak gini, Bella makin cinta sama papa.."

Bella memang sangat dekat dengan ayahnya. Cinta pertamanya dan juga merupakan lelaki pertama yang berhasil membuatnya terpikat dengan segala perlakuan lembut darinya.

"Mana boleh gitu, cinta papa buat mama saja." Meira datang dari arah dapur dengan membawa sarapan untuk mereka. Dia memang mendengar percakapan dari anak ayah itu.

Diam-diam Kenzie merasakan ada desiran di dalam dirinya. Ia sangat senang mendengar kalimat posesif dari istrinya. Sudut bibirnya pun sampai berkedut menahan untuk tidak tersenyum.

Kenzie lantas menurunkan tubuh Bella di atas kursi kemudian ikut duduk di sebelah Meira. Tidak lupa, ia menyempatkan diri untuk memberi ciuman mesra di bibir sang istri.

"Ich liebe dich," bisik Kenzie tepat di telinga Meira membuat wanita itu tersipu malu.

Bella mendengus geli. Dia memutar bola matanya kemudian kembali berucap. "Iya deh, iya. Papa buat mama saja." Semenjak melahirkan Bella, Meira menjadi wanita yang mudah cemburu.

"Makanya cepat cari pacar. Biar tidak ganggu punya mama lagi." kembali Meira berkata penuh tekanan di sertai dengan tatapan sinis membuat Bella sedikit tercengang. Ia menggeleng pelan melihat tingkah ibunya yang terkesan kekanakan.

Cih, posesif.

"Mana ada cowok yang mau sama Bella, ma. Baru Bella dekati, mereka semua langsung pada kabur." Bella menggerutu kesal.

"Jelas mereka lari, Bella. Di mana-mana kalau nembak cowok itu pakai kata-kata, bukan pakai senjata." ujar Kenzo yang baru datang setelah mengangkat telepon dari kantornya.

"Itu artinya mereka tidak tepat buat Bella. Mereka itu pengecut dan penakut. Di todong pisau saja mereka sudah ketakutan, bagaimana mau jagain putri papa kalau ada apa-apa nantinya." ujar Kenzie.

Memang belakangan ini Bella berinisiatif untuk mendekati para pria tampan yang ada di sekolahnya dulu. Tidak segan-segan dia menyeret salah satu dari mereka dan menembaknya di hadapan semua orang. Tentu dengan cara yang anti-mainstream. Seperti yang di katakan oleh Kenzo, jika ia menembak bukan dengan ungkapan cinta melainkan dengan menodongkan senjata tajam.

Dan semua itu tentu adalah usulan Kenzie. Pria dengan sejuta rencana liciknya.

"Lagipula papa tidak mau kamu pacaran dengan pria sembarangan. Gini-gini papa punya kriteria sendiri dan tentunya akan lebih memuaskan." ujar Kenzie menatap putrinya sesaat.

"Memuaskan? Maksud papa, pria nafsuan gitu?" tanya Kenzo yang langsung mendapatkan pukulan dari Meira.

"Maksud papa lebih berkelas, Kenzo! Gini nih kalau kerjanya nonton terus." tegur Meira sedangkan Bella hanya terkekeh geli. Memang kakaknya itu sangat hobi menonton film barat maupun sinetron yang selalu tayang di TV.

Kenzo mengusap kepalanya sambil meringis pelan. "Papa sih, kata-katanya bikin otak Kenzo traveling mulu."

"Makanya kurang-kurangin nonton film." ujar Bella ikut menimpal.

Kenzo memasang raut wajah masam. "Tidak bisa! Hidup kakak tanpa film itu bagaikan sayur tanpa garam."

Mendengar itu membuat Kenzie, Meira dan Bella langsung merasa mual. Mereka sampai bergidik ngeri melihat wajah dramatis milik Kenzo.

"Sudah, sudah. Lebih baik kita makan. Hari ini adalah hari pertama Bella masuk SMA. Jadi harus datang cepat." lerai Meira yang mulai menuangkan berbagai jenis sarapan pagi untuk keluarganya.

Kenzie mengangguk. "Iya, biar papa yang mengantar Bella ke sekolah."

"Tidak perlu. Biar Kenzo saja yang mengantar Bella." cegah Kenzo dengan cepat.

Kening Kenzie mengerut. "Loh, kenapa?"

"Biar sekalian, pa. Kasihan juga mama kalau di tinggal sendirian di rumah."

Kenzie mengangguk. "Baiklah. Tapi kalau ada yang macam-macam di sekolah, segera hubungi papa, okay?"

"Papa tenang saja, pisau warisan papa selalu stay di kantong baju Bella." ujarnya tersenyum lebar.

Meira langsung mendelikkan matanya tajam. "Ke sekolah itu buat belajar, bukan buat tawuran. Kamu harus fokus sekolah saja. Jangan selalu cari masalah. Cukup mama saja yang tamatan SMP. Kamu jangan!" tegurnya. Ia tidak ingin Bella mengikuti jejaknya yang hanya tamatan SMP. Pernah masuk SMA, tapi itupun hanya dua hari.

"Iya, ma. Bella cuma jaga-jaga kok. Janji enggak akan usil lagi."Bella mengacungkan dua jarinya membentuk V.

"Ya sudah, cepat habiskan makanan kalian!"

"Siap bos!"

•••

Akhirnya mobil milik Kenzo telah sampai di depan gerbang sekolah Franklin. Sebuah gedung yang akan di tempati Bella untuk mengenyam pendidikan.

Bella membuka sabuk pengamannya dan mengambil tas ransel yang ada di jok belakang. Sejenak dia terdiam menatap ke arah siswa-siswi yang tengah asik bergosip ria di halaman sekolah. Dan tentu itu membuatnya sangat iri. Memang sewaktu SMP, pertemanan Bella sangat terbatas. Tidak ada yang mau bersahabat dengannya. Mereka semua takut untuk berbaur dengan keturunan Smirt.

Dan seolah mengerti apa yang tengah mengganggu pikiran adiknya, Kenzo lantas berkata. "Jangan terlalu dipikirkan, Bella. Kakak yakin, kamu pasti akan mendapatkan teman."

"Iya, semoga saja." Bella tersenyum lirih. "Kalau begitu, Bella duluan ya. Kakak hati-hati, jangan ngebut."

Kenzo mengangguk lalu mengacak rambut adiknya dengan sayang. "Kamu juga jangan terlalu capek. Pulang sekolah nanti, kakak jemput."

Bella hanya mengiyakan ucapan kakaknya. Setelah pamit, ia lantas bergegas keluar dan melangkah meninggalkan Kenzo seorang diri di dalam mobil.

Kenzo memejamkan matanya sesaat. Lalu tidak lama, ia mendongak menatap ke lantai dua. Di mana terlihat ada seseorang yang bertudung tengah berdiri dengan pandangan yang menatap ke arah mereka, lebih tepatnya ke arah Bella—mengawasi gerak-gerik gadis itu tanpa sepengetahuannya.

Memang sejak awal mereka sampai, Kenzo sudah menyadari kehadiran orang itu.

Hingga beberapa menit kemudian—ketika Bella perlahan menghilang dari balik koridor, barulah orang itu ikut pergi entah kemana.

Kenzo tahu, ketika Bella telah melewati pintu gerbang sekolah maka detik itu juga kehidupan Bella akan berubah. Tidak lama lagi, sesuatu yang luar biasa akan menerjang hidupnya.

"I'm sorry, Bella.." gumam Kenzo lirih.

•••

With Love,

Alyccaca

Posesif Eldrich (S#5) Where stories live. Discover now