Ji Soo benar-benar tidak tahan dengan gimik Hyungtak itu. Amat memuakan baginya. "Langsung saja. Aku tidak memiliki 'banyak' waktu."

"Tapi Anda memiliki 'cukup' waktu untuk datang." sindir Hyungtak yang masih berkutat dengan hidangan steaknya. Diliriknya Ji Soo tengah menghela nafas tak percaya. 

Hyungtak tersenyum penuh kemenangan. Ia tak menyangka semudah itu untuk menarik perhatian seorang Ji Soo. Hanya lewat sebuah pesan singkat yang dibumbui ancaman pencemaran martabat sang suami. Umpan yang sangat tepat bagi wanita yang sedang dimabuk cinta. Lihat apa yang bisa dilakukan oleh perasaan yang dinamakan cinta itu. Tidak berguna. Membuatmu rela untuk mengorbankan apa saja. 

"Saya tak mengira Anda begitu menyukai suami Anda" ujar Hyungtak seusai ia menelan "Bukankah Anda sendiri yang bilang sebuah perjodohan adalah hal yang konyol?"

Ji Soo memang dulu tidak menyukai konsep perjodohan yang ditawarkan orang tuanya. Namun siapa sangka ia akan dijodohkan dengan seorang Kim Seok Jin? Laki-laki yang ia rasa pantas untuk menjadi suaminya. Yang bahkan ia tidak pernah mengira ada seorang laki-laki sempurna seperti Seok Jin yang hidup di dunia nyata. 

Ji Soo telah banyak bertemu laki-laki di luar sana. Yang bergelimpang harta, namun memperlakukan wanita layaknya pakaian. Dengan mudahnya berganti-ganti karena alasan bosan. Begitu picik mengutarakan kata-kata manis demi mencari kesempatan untuk membelai tubuhnya. Namun Ji Soo mendapati Seok Jin berbeda. 

Saat pertama kali bertemu dengan Seok Jin. Ji Soo menilai Seok Jin tak hanya memiliki paras nan rupawan, namun etika dan tata krama Seok Jin pun menawan. Layaknya pria bermartabat ketika memperlakukan Ji Soo. Amat lembut dan sopan. 

Ji Soo menyukai bagaimana Seok Jin berusaha menjaga perasaanya saat mereka pertama kali bercakap-cakap. Bahasanya ringan dan rendah hati. Laki-laki itu menjelaskan mereka bisa berteman baik. Secara hati-hati menjabarkan maksudnya ingin menyudahi perjodohan mereka. Dan saat itu pula Ji Soo mengangguk namun jauh dalam hatinya berkata tidak. 

Hingga pada hari dimana Ji Soo tidak dapat berpura-pura lagi. Ia menginginkan Seok Jin menjadi suaminya. Membayangkan pria tampan itu sebagai pendamping hidupnya. Dan Ji Soo tidak bisa memikirkan laki-laki lain yang lebih pantas selain Seok Jin. Ia terlanjur mengagumi seorang Kim Seok Jin. Meski saat itu, Ji Soo belum memahami bahwa perasaan kagumnya adalah benih cinta. 

"Anda benar-benar berubah. Dari seorang wanita yang selalu mengenakan celana jeans. Kini menjadi seorang Nyonya Kim yang nampak berwibawa." tambah Hyungtak lagi dengan nada yang akrab.

"Jangan membuatku kesal oleh obrolan yang tidak penting."

Hyungtak terkekeh. "Sangat menarik." Ia meraih amplop coklat disisinya. Menaruhnya dengan ringan di hadapan Ji Soo. "Mari kita lihat. Kalau yang ini penting atau tidak, Nyonya Kim?"


Ji Soo menggigit bibir dalamnya. Dengan tenang ia meraih amplop coklat itu dan membuka isinya. Menemukan tiga lembar foto seukuran 4R. Di sana terlihat sosok jangkung seorang laki-laki tengah memeluk seorang wanita dengan taman sebagai latar tempatnya. Ji Soo sangat hapal dengan pakaian dan wajah rupawan laki-laki itu. Tak lain adalah suaminya, Kim Seok Jin. 

Potret Seok Jin terlihat jelas. Dengan senyum tipis terpatri di wajah. Gesture tubuh Seok Jin menggambarkan ketidakrelaan untuk melepas peluk. Nampak amat merindu. Sedangkan wajah sang wanita membelakangi lensa. Seakan-akan foto ini sengaja diambil dari angle tersebut.

Siapa wanita itu? Ji Soo berusaha menelaah. Coat hangat yang dikenakan nampak bukan barang murah meskipun memiliki desain sederhana. Menandakan wanita tersebut bukan dari kalangan bawah. Tubuh langsing dan berambut hitam panjang. Namun terlalu banyak kolega wanita Seok Jin memiliki keperawakan yang serupa. 

RemedyDonde viven las historias. Descúbrelo ahora