📍 [8 + ²log8] Sorrow

53 9 43
                                    

JANGANKAN MENGHIBUR BELIAU, MENGHIBUR DIRI SENDIRI RASANYA SULIT SEKALI.

~••~

Selamat Membaca!!!

💭💭💭

"Aaa!!!" Dalam hitungan detik, teriakan itu lolos begitu saja melalui mulutku. Ghina dan Fikay sontak mendekati diriku. Namun, aku hanya diam membeku. Tubuhku bergetar hebat. Telapak tangan secara spontan mulai membekap mulutku, keringat dingin pun mengalir deras melalui pelipis. Bibirku rasanya bergetar, hingga tak mampu untuk mengeluarkan kata-kata.

"Kenapa, Fel? Ada apa?" Aku tak tahu siapa yang baru saja bertanya padaku, sebab tubuhku jatuh terduduk begitu saja. Kakiku rasanya lemas meski hanya untuk menopang tubuhku sebentar saja. Dengan perlahan, jari telunjukku yang bergetar mengarah ke sesuatu yang membuatku terkejut setengah mati barusan. Lidahku lagi-lagi rasanya kelu, bahkan sepatah kata pun rasanya sulit untuk dikeluarkan.

Mereka berdua spontan mengalihkan atensi ke arah yang kutunjuk ... dan, yap. Mereka sama terkejutnya dengan diriku. Alhasil, kami bertiga hanya diam bergeming di depan ruang ini. Bahkan, air mata meleleh dari kedua mataku.

Tepat di pojok ruangan, aku melihat sesosok orang yang cukup familiar di mataku, sedang duduk bersandar pada tembok. Ya, dia adalah orang yang kami cari-cari belakangan ini. Nandini. Namun, mengapa keadaannya menjadi seperti itu? Apa yang dialami gadis itu semalam sampai dia menjadi seperti ini?

Perlahan aku mendekati tubuh Nandini yang terbujur kaku. Bau anyir semakin pekat menyerang masuk ke dalam indra penciumanku. Namun, hal itu tak menyurutkan niatku untuk mendekati sosok Nandini yang terduduk lemah di pojok ruangan. Aku tak peduli apakah Ghina dan Fikay akan mengikutiku, karena aku benar-benar ingin melihat Nandini dari dekat.

Dapat kulihat, sebuah noda berwarna merah yang mulai mengering berwarna agak kecokelatan melekat pada pakaiannya. Bibir gadis itu pun membiru, kulitnya pucat, bahkan matanya terbelalak lebar, seolah menunjukkan raut ketakutan yang luar biasa. Hal yang lebih mengerikan lagi, pada bagian perutnya di sebelah kanan, terdapat lubang dan banyak sekali noda merah kecokelatan itu berpusat di sana.

Kakiku semakin bergetar hebat. Tulangku rasanya telah dilolosi begitu saja. Lemas, aku pun jatuh terduduk di lantai dingin ruangan ini. Netraku bertabrakan dengan mata Nandini. Aku menatapnya nanar. Tangan serta bibirku pun bergetar, air mata keluar begitu saja dari kedua netraku. Suara tangisan sedu sedanku mulai memenuhi ruangan ini.

Aku baru tersadar, Ghina dan Fikay rupanya sudah duduk bersimpuh di belakangku. Netra mereka pun menunjukkan sorot tak percaya.

"I--itu ... Nandini?" tanya Fikay dengan suara bergetar. Sedangkan Ghina hanya terdiam, menatap Nandini dengan sorot sendu. Mungkin ia sama seperti diriku, sulit sekali rasanya untuk berbicara.

Tidak, ini tidak mungkin. Apa Nandini dibunuh? Apa dia sudah mati? Tidak. Aku harus meyakinkan diri bahwa dia masih hidup. Dia masih hidup, dia pasti cuma pingsan atau ketiduran. Alhasil, tanganku bergerak ke arah tubuhnya. Namun, belum sampai aku menyentuh Nandini, tanganku ditahan oleh Ghina.

"Fel, kau sudah gila? Apa kau ingin meninggalkan sidik jarimu di tubuh Nandini? Bagaimana kalau ada yang mengira tidak-tidak padamu." Ucapan Ghina sontak membuatku terdiam. Tidak, aku masih belum menerima kenyataan ini.

"T--tapi, apa Nandini benar-benar s--sudah ... tidak bernyawa?" Masih dengan suara bergetarnya, Fikay bertanya pada kami. Raut wajahnya tampak masih belum menerima hal ini.

"Aku sebenarnya tidak terlalu tahu. Mungkin lebih baik kita menghubungi polisi dulu. Jangan bertindak gegabah." Yah, benar kata Ghina. Memanggil polisi adalah pilihan yang tepat. Semoga mereka bisa cepat mengurus Nandini.

💭💭💭

"Nggak mungkin. Ini nggak mungkin!!! Huhuhu." Suara isak tangis mulai memenuhi ruang tamu dari rumah keluarga Nandini. Sejak mendengar kabar bahwa anak gadisnya telah tiada, Tante Tyas terus saja menangis sembari berteriak histeris. Wanita paruh baya itu sampai berulang kali dipeluk oleh papa Nandini dan berusaha menguatkan Tante Tyas yang mulai rapuh.

Bahkan, saat jasad Nandini telah dikebumikan, Tante Tyas terus saja menangis tersedu sedan. Hati ibu mana yang tidak tergores saat mengetahui anaknya telah diambil kembali oleh Tuhan?

“Nggak mungkin. Ini nggak mungkin. Nak ....” Aku, Ghina, dan Fikay yang masih berada di rumah Nandini, terus terdiam. Tak mampu mengeluarkan satu kata pun untuk menghibur mama Nandini. Jangankan menghibur beliau, menghibur diri sendiri rasanya sulit sekali. Menerima kepergian Nandini saja sukar untuk dilakukan.

Nandini ... pasti dia dibunuh. Pasti, itu sudah pasti. Tidak mungkin dia bunuh diri. Sorot matanya saat itu, memancarkan ketakutan yang luar biasa. Seandainya dia bunuh diri, tak mungkin tatapannya seperti itu. Aku mengenal Nandini cukup lama, jadi tak salah kalau aku bisa mengenali berbagai macam sorot mata gadis itu.

Ketika kami masih ada di tempat Nandini ditemukan tewas, tak lama setelah itu polisi datang. Tim mereka pun langsung melakukan olah TKP. Kami juga dibawa oleh mereka untuk dimintai keterangan, sebab kami yang pertama kali melihat mayat Nandini. Hingga saat ini, polisi masih mengusut kasus itu. Aku pun tak memedulikannya. Yang terpenting, pelakunya harus segera ditangkap dan diberi hukuman yang setimpal.

“Permisi.” Sebuah suara membuatku menoleh ke arah pintu di sebelah kananku. Seketika itu pula, entah mengapa amarah mulai menguasai diriku.

💭💭💭

Haiii. Hiks, dengan terpaksa, tokoh Nandini sudah mati. Huhuuu. Mangkelin banget ga, sih, pembunuhnya. Gaada perasaan. 😭😭

As always, jangan lupa vote dan komen, ya, untuk membangun cerita ini.

Jangan lupa follow juga akun putriaac untuk dapatkan informasi update terkait cerita ini dan juga cerita-cerita menarik lainnya.

Have a nice day.

©Surabaya, 17 November 2020

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

©Surabaya, 17 November 2020

Revenge After MOSWhere stories live. Discover now