XXVII: For Love, For You

5.2K 757 54
                                    

Happy reading ...

Dan maaf atas ketidakproduktifan ku di sini.

☆☆☆

Setelah sekian tahun hidup sendiri di Manchaster, Draco kembali ke London. Perawakannya sudah berbeda sekarang, ia lebih tinggi dan lebih kharismatik, tentunya sudah siap bertemu dengan Harry.

Tapi tak semudah itu, dia harus melewati satu rintangan dari ayahnya.

Jadi Draco di training oleh staff kepercayaan ayahnya, Mr. Aaron. dia ditempa agar bisa menjalankan sebuah perusahaan dengan baik. Diajak terbang Milan-London hanya untuk ikut rapat, bukan sembarang rapat tapi rapat khusus yang harus selalu di hadiri Draco kelak dan tempatnya tidak selalu di Milan.

Draco selalu lembur sampai tengah malam agar kertas kerjanya tidak menumpuk, mengakibatkan ia sering menginap di kantor dan pulang dini hari. Ia tak takut hantu atau semacamnya, ia lebih takut omelan Mr. Aaron yang berujung laporan kelakuan minus Draco pada bos besar, yaitu ayahnya sendiri dan bisa juga berdampak pada mengulurnya waktu untuk segera bertemu Harry.

Bekerja keras itu susah, Draco mengalaminya sekarang. Ia pikir akan menjadi hal mudah ketika seseorang menjadi bos tapi ternyata salah, tanggung jawab bos sangat besar. Salah sedikit, usaha yang di bangun bisa hancur, maka dari itu Draco lebih teliti dan lebih rajin, selagi ia masih dalam masa latihan. Pergaulannya di sini juga di perlukan, ia sering makan siang bersama rekan lainnya. Dan satu hal lagi, identitasnya di sini hanya nama Draco saja tak ada nama keluarga. Meski begitu, ia sering mendengar beberapa staff lain menebak kalau Draco memang anak Lucius Malfoy karena kesamaan wajah. Itu benar, tapi Draco diam saja. Tak mau membenarkan.

Draco terkejut, Mr. Aaron meletakkan tumpukan map dengan kasar di depannya.

Draco pusing, apa yang ia kerjakan selalu saja salah. Entah salah ketik atau salah nominal. Pasti ada kesalahan yang tak luput dari pria itu.

"Berapa kali aku harus memperbaiki pekerjaanmu?"

Draco mengambil salah satu map tersebut. Di sana sudah ada coretan sebagai tanda letak kesalahannya.

"Maaf, Sir."

"Ini yang terakhir, Draco. Kalau ada lagi, aku akan minta tambahan waktu." Lalu Mr. Aaron pergi.

Draco sweetdrop, kenapa halangannya bertemu cintanya banyak sekali?

***

Di tengah tidurnya, Draco merasakan kepalanya dielus seseorang. Dalam ingatannya yang samar hari ini hari merupakan hari minggu sehingga ia tak mau diganggu karena semalam ia pulang jam 2 dini hari karena Aaron itu.

"Draco, kau tidak bangun?"

Ketika indra pendengarannya menangkap suara lembut dan pelan, kelopak matanya sedikit terbuka. Sekilas ia melihat Harry di sisinya.

"Temani aku, Rry." Draco meracau dan kembali tidur. Semakin menyamankan dirinya.

Tanpa ia sadari, Draco sudah salah orang, orang yang ia kira Harry ternyata ibunya sendiri. Narcissa memaklumi dan meninggalkan anaknya untuk melanjutkan tidurnya meskipun sudah jam sebelas siang.

Ketika Draco terbangun, tak ada Harry di sisinya. Mungkin kah ia bermimpi? Atau Harry benar-benar ada di sini?

Pikiran akan Harry mulai merusak logikanya. Apa dia harus ke psikiater? Tidak, karena Draco tak punya banyak waktu.

Dia turun dari kasur tanpa melihat jam, Draco sudah terbiasa bangun di siang hari setiap hari libur. Dia menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci wajahnya, di pantulan cermin, Draco meneliti wajahnya, rambut-rambut halus sudah mulai muncul di daerah dagu dan atas bibir. Permukaannya juga agak kasar, cukup mengganggu dan dia akan merapikan dirinya hari ini lalu pergi untuk menepati janji temunya dengan sahabat, Blaise Zabini.

Setelah selesai bercukur, Draco terlihat semakin tampan. Meski tak ada jenggot atau kumis tetap saja ia terlihat dewasa. Beralih ke ruang pakaian, Draco mengambil setelan acak, kaos leher kura dengan celana jeans. Rambutnya ia sisir rapi di akhiri dengan lima semprotan parfum dari Gucci, Draco sudah siap.

Semalam, ia sengaja mematikan ponselnya agar tak di ganggu waktu tidur. Dan sekarang belasan panggilan tak terjawab dari Blaise memenuhi notifikasinya.

Draco tak menelpon balik, ia mengetikkan pesan on the way sebagai jawaban.

Mengambil kunci mobil dan dompet yang ada di atas nakas, Draco keluar kamar. Ia tak melihat ibu atau ayahnya sama sekali.

"Di mana Ibu dan Ayah ku?"

"Mereka ada acara, Tuan."

"Oh." Draco melanjutkan langkahnya ke parkiran mobil.

Lampu garasi menyala otomatis ketika menerima sensor gerak dan terlihat jajaran mobil sport atau keluarga yang sering kali hanya menjadi pajangan dan tentu saja mereka sama-sama mahal dan memiliki pajak yang cukup tinggi tapi tak perlu khawatir, Draco dan keluarganya mampu membayar pajak mobil-mobil tersebut.

Draco masuk ke mobil dan berhenti sejenak sebelum pintu garasi terbuka dengan sempurna. Ia nelajukan mobilnya dengan sangat santai, Draco tak lagi memikirkan tentang Astoria, biarlah gadis itu dengan pangeran kuda putih khayalannya, Draco sudah tidak ada urusan.

Dia berhenti di sebuah resto sekaligus bar pilihan Blaise. Draco masuk lalu menelpon Blaise untuk menanyakan keberadaan pria itu tapi Draco sudah melihat sosok Blaise ketika panggilannya masih tersambung. Draco buru-buru mematikannya.

"Hei." Draco menyapa lalu mereka bersalaman layaknya pria sejati.

"Kau terlambat satu jam."

"Jalanan macet hari ini." Draco beralasan.

Blaise mendengus tak percaya, "seriusan, Draco? Aku pilih tempat yang berjarak hanya 30 menit dari rumahmu."

"Kau sudah pesan makan?"

"Belum--"

"Baik akan aku pesankan kalau begitu," Draco mengangkat tangannya dan seorang pelayan datang membawa buku menu.

"Silahkan, Tuan."

"Lasagna dan red wine." Draco memesan.

"Waffle dan jus jeruk, denga dua puding jeruk. Thanks."

"Satu lasagna, satu red wine, satu omelet, satu jus jeruk dan dua puding jeruk. Baik, Tuan, pesanan akan segera siap."

"Percayalah, puding di sini enak," kata Blaise, "jadi bagaimana?"

"Lebih baik dari dulu."

"Harry menghubungimu?"

Draco menggeleng, "belum. Tapi aku beberapa kali bertemu ayahnya saat rapat bersama."

Blaise bersimpati, ia menepuk pundak sahabatnya, "saranku, carilah yang lain. Kau tidak bisa begini terus, kau berjuang sendirian tanpa tahu kabar Harry di sana."

"Aku yakin dia baik-baik saja." Draco berujar.

"Maksudku, belum tentu Harry masih sendiri di sana," ucapan Blaise membuat Draco sakit hati. "Jangan salah faham, Drac, aku mengatakannya karena ku lihat kau selalu berjuang sendirian, tidak pernah tahu di mana atau paling tidak kabar Harry. Apalagi kita belum tahu bagaimana perasaan Harry padamu kan?"

"Kau menyuruhku menyerah?" Nada Draco agak meninggi.

"Ya, cari saja yang lain, yang statusnya lebih jelas. Karena jodohmu belum tentu Harry, Sobat."

Baca cerita lengkapnya di karyakarsa Vwatson_drarry ya guys, hanya 3.000 rupiah per chapternya

000 rupiah per chapternya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
A.B.OWhere stories live. Discover now