X: The Real Beginning

7.2K 1.2K 75
                                    

Happy reading
.
To: all readers
Mohon maaf, setelah ini update agak nyendat-nyendat 😔

☆☆☆

Setelah event pekan olahraga musim panas Hogswart, Harry jarang melihat Draco, sekelebat pun tidak. Ia tidak perlu repot-repot mencari informasi tersebut karena sebagian murid Hogswart adalah penggosip, Harry selalu memasang telinga setiap nama Draco di sebut.

Kata mereka, Draco dan Astoria dalam perjalanan untuk berobat, tidak tahu kemana.

Harry menjadi murung sendiri, berpikiran yang tidak masuk akal. Semua pikiran negatif hinggap di kepalanya dan mempengaruhi suasana hati Harry.

Malam, sebelum tidur, Harry mengirim pesan pada Draco, bertanya ke mana namun Draco tidak menjawab dan mengalihkan topik. Membicarakan guru-guru menyebalkan di Hogswart atau suasana hari Harry.

Harry yang kesal pun hanya membalas dengan singkat lalu mengetikkan semoga lekas sembuh dan pergi tidur tanpa menunggu balasan.

Di pagi harinya, Harry tidak perlu mengecek balasan karena sudah di pastikan Draco akan berterima kasih atau mengucapkan selamat malam. Harry menjadi kesal sendiri karena itu.

"Arry kenapa murung?" Ibunya bertanya.

Harry menggeleng, "tidak apa-apa kok."

Lalu ibunya merangkul dari samping, "Arry sudah punya pacar belum?"

Harry tersentak lalu menggeleng cepat, "lagipula tidak ada yang menyukai ku di sekolah."

"Masa?"

Harry mengangguk meyakinkan. Dalam hati ada keraguan, apa iya tidak ada yang suka padanya? Sebagai manusia pada umumnya ia ingin di cintai seseorang. Harry membayangkan kalau ada yang menyukainya secara diam-diam dan selalu meletakkan hadiah lucu di dalam lokernya.

"Apa Draco benar-benar sudah punya tunangan?"

Raut wajah Harry sedikit menurun, Draco lah alasannya murung sekarang.

Harry mengangguk pelan, "namanya Astoria Greengrass."

"Oh, Greengrass. Wajar saja sih, keluarga itu selalu mendekati Malfoy sejak jaman dulu."

"Jaman dulu itu kapan?"

Lily menggedikkan bahunya, "entah, sejak jaman kakek buyutnya kakek buyutmu, mungkin. Tanya ayahmu, dia jago dalam sejarah keluarga."

"Tapi, Mom, kenapa Potter dan Evans tidak mendekati Malfoy?"

Ibunya sejenak berpikir, "kenapa berteman dengan satu keluarga kalau bisa dengan seribu keluarga," lalu Lily mengusap kepala Harry, "Arry, bagaimanapun pertemanan itu penting dan jangan pilih-pilih kawan. Mengerti?"

Harry mengerti, lalu ibunya bangkit menuju dapur, tak lama setelah itu dia membawa sepiring cookies hangat untuk Harry.

"Enak?"

Harry mengacungkan jempolnya, apapun yang di buat ibunya pasti enak karena dulunya Lily pernah kursus memasak selama satu tahun pada salah satu Chef terkenal. Entah siapa namanya Harry lupa.

A.B.OWhere stories live. Discover now