26. Berbagi Hati

1.9K 78 2
                                    

"Bagas, hari ini berangkat sama Ummi, ya? Ummi ada keperluan di luar. Nanti pulangnya Ummi yang jemput juga. Habis itu, ikut Ummi ke pengajian yang diadakan di mesjid dekat sekolah Bagas. Gimana? Mau nggak?" tawar Shalima di pagi hari yang cerah itu.

Tangannya mengatur makanan di atas meja. Dibantu Bi Narsih tentunya.

"Siap, Ummi!"

Mulut Bagas penuh dengan nasi goreng. Masakan Shalima enaknya bukan kaleng-kaleng.

"Non Shalima yakin mau keluar? Cuaca panas banget, loh. Kok, Bibi lihat Non Shalima kayak nggak takut sama sekali kena panas. Nanti gosong, loh, Non. Apalagi Non Shalima sekarang sering sakit. Bibi rasa sampai sore pun panasnya awet!" seloroh Bi Narsih.

Rahul menyetujui di dalam hati. Pertanyaan yang sama pernah diajukan oleh hatinya ketika berlibur di pantai dan belum mendapatkan jawaban sampai sekarang. Shalima selalu saja bepergian menggunakan motor meskipun cuaca sedang terik.

"Kalau jadwal yang udah Shalima tentukan bisa dilanggar karena bukan termasuk janji, kalau Shalima nggak ingat pengajian adalah salah satu media menuntut ilmu, kalau maki Shalima nggak dipertanyakan di akhirat nanti dipergunakan untuk apa, kalau janji dengan seseorang bisa Shalima batalkan, dan kalau nggak ingat hidup Shalima kelak akan Shalima pertanggungjawabkan di hadapan Allah. Mungkin Shalima milih di rumah, Bu. Shalima nggak takut sama panas matahari, soalnya panas api neraka berjuta kali lebih panas ini!" jawab Shalima panjang lebar sembari tersenyum.

"Iya, ya? Ya Allah, jawaban Non Shalima bikin Bibi sadar. Ternyata bukan Non Shalima yang memaksakan kehendak sampai lupa sama nasib badan, tapi Bibi yang sibuk sama dunia." Bi Narsih termenung sejenak.

"Shalima manusia biasa juga, Bi."

Perkataan Shalima mengetuk pintu hati Bi Narsih. Perempuan itu menang di badan, tapi merasa begitu kecil di hadapan Shalima. Ilmu agamany pas-pasan. Hanya tahu rukun iman dan rukun islam, itu saja kadang tertukar.

Tak hanya Bi Narsih, Rahul ikut tertegun. Jauh sekali perbedaan antara Shalima dengan Karin. Kekasihnya itu tak mau keluar rumah kalau cuaca sedang terik. Sekalipun sudah amat perlu, maka asisten akan siap memayungi ke mana pun dirinya melangkah.

"Ummi, Bagas udah selesai. Ayo, berangkat sekarang. Nanti Bagas telat masuk kelas!" celetuk si buah hati sembari mengenakan peci hitam kesayangan.

"Oke. Pamit sama Abi," suruh Shalima.

Bagas menyalami Rahul. Lalu, menghampiri Bi Narsih di dapur untuk melakukan hal yang sama. Setelah itu, ia berlari ke depan dan melompat ke atas motor matic kesayangan Shalima.

"Oke, Jagoan. Jangan lupa baca doa!" seru Shalima.

Mereka berdua mengendarai motor membelah lalu lintas kota Jakarta menuju sebuah sekolah dasar berstandar internasional. Di sanalah Bagas menuntut ilmu selama enam tahun.

Sekarang bocah tampan itu sudah duduk di kelas tiga. Otak cerdasnya membuat Bagas lulus kelas akselerasi. Tak sia-sia Shalima berlaku tegas setiap bocah itu merengek malas belajar. Perlahan-lahan, hasilnya mulai terlihat dari sekarang.

"Nah, udah sampai. Belajar dengan baik dan jangan nakal, ya? Nanti pulangnya Ummi jemput lagi!" pesan Shalima sambil mengecup pipi Bagas.

"Siap, Ummi! Bagas masuk dulu."

Ketika tubuh mungil sang anak tak lagi terlihat, Shalima kembali mengenakan helm dan menyusuri jalan aspal hitam ke sebuah cafe. Semalam, ada nomor baru menelepon dirinya. Pria itu mengajak Shalima bertemu untuk membahas soal keluarga.

Kadung penasaran, Shalima mengiyakan saja. Lokasinya tak jauh dari sekolah Bagas. Setibanya di sana, rasa degdegan muncul begitu saja. Baru kali ini dirinya pergi menemui seseorang tanpa sepengetahuan Rahul. Sendirian lagi.

Sandiwara Shalima [Tamat]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ