32. Gangguan Kejiwaan

2.8K 113 9
                                    

Faaz mengurut kening yang terasa sakit. Ia datang karena dipanggil Ratu. Wanita itu khawatir melihat tingkah laku Shalima yang terlihat berbeda. Perubahannya terlihat setelah mendengar cerita Heri di ruang baca.

Setelah memastikan beberapa hal, ia menyimpulkan Shalima depresi. Wajar saja, Shalima sudah menahan emosinya selama ini. Air panas yang dipaksa memenuhi gelas rapuh, lama kelamaan pasti meledak. Itu perumpamaan paling sesuai untuk menggambarkan kehidupan Shalima.

"Walaupun spesialis saya penyakit dalam, saya tau sedikit tentang kejiwaan," kata Faaz.

Ada satu hal yang dicemaskan oleh Faaz. Gejala bipolar mulai terlihat dari perilaku Shalima. Entah sejak kapan gejala itu ada. Apabila tak berefek fatal, maka semua bisa tenang-tenang saja. Akan tetapi, derita  menyiksa pikiran dan batin membuat Faaz tak bisa menjamin kejiwaan Shalima akan baik-baik saja.

Fakta bahwa Shalima terkena bipolar sengaja dia sembunyikan dari keluarga Bramantyo. Ia hanya menyebutkan depresi saja. Bukan bermaksud egois, melainkan takut salah diagnosis. Selebihnya, akan dia kaji bersama dokter kejiwaan sampai benar-benar yakin.

"Seharusnya kamu keluar dari rumah itu, Shalima. Seharusnya kamu mengikuti apa kata saya. Seharusnya kamu mendengarkan saya untuk meninggalkan pria sialan itu. Sekarang semua udah nggak bisa diselamatkan. Rumah tangga dan psikis kamu hancur!" gumam Faaz sembari berjalan menuju pintu.

Sepeninggal Faaz, Ratu masuk ke kamar tempat Shalima beristirahat. Shalima tampak tengah termenung sendirian.

"Mama mau bicara sama kamu. Boleh?" tanya Ratu lembut.

"Shalima bukan siapa-siapa di sini. Jadi, Mama boleh berbicara apapun sama Shalima."

Jawaban sederhana, tapi nyatanya menikam ulu hati hingga terasa pedih tak terkira.

Tangan Ratu hinggap di kedua bahu Shalima. Wanita itu semakin kurus. Wajahnya pucat. Akan tetapi senyum itu masih sama. Seindah purnama dan sehangat sang Surya. Ratu masih tak percaya dirinya tega mempersunting wanita Aceh ini untuk putra pertama yang tak punya hati.

"Kalau suatu saat nanti anak Mama makin nyakitin kamu, kamu boleh ninggalin dia. Mama nggak akan melarang kamu pergi. Asalkan kamu nggak mutusin komunikasi sama Mama. Pergi jauh dari dia. Mama akan bantu kamu semampu Mama," lirih Ratu dengan suara parau.

Tangannya mengusap pipi sang menantu dengan sayang. Ia berjanji akan bertanggung jawab di akhirat nanti. Di hadapan orang tua Shalima, yang mungkin marah besar karena telah menyiksa batin anaknya.

"Mama nggak pernah mau kamu ada di situasi sulit ini, Sayang. Sama sekali nggak pernah. Mama hanya mau kebahagiaan selalu menyertai kamu," tambah Ratu.

Wanita paruh baya itu merogoh saku baju, lalu mengeluarkan sebuah kunci dan secarik kertas. Ia menyerahkan itu pada Shalima.

"Sembunyilah di sana. Jangan diam aja kalau Rahul kembali berulah. Berlindunglah di sana. Bawa Bagas juga. Mama akan melindungi kamu. Kamu adalah anak perempuan Mama!" isak Ratu.

Andai saja Shalima berani pergi, sudah sejak lama ia melakukannya. Namun, selama ini Shalima takut mengundang murka. Walau bagaimanapun, Rahul adalah suaminya.

Tangisan dalam diam adalah cara mengungkapkan kepedihan yang mendalam. Tak ada satupun kalimat yang mampu tersusun untuk menggambarkan sedalam apa hati telah tenggelam.

Sebelum mati tanpa kebahagiaan menyertai perasaan, baiknya Shalima menyelamatkan diri dari arena panah beracun yang terus terhujam. Dia akan pergi dari sini. Secepatnya.

🍃

Faaz berada di sebuah cafe. Ada janji temu dengan Rima. Bukan untuk kencan, melainkan berbagi informasi. Sejak kemarin, Rima terus menelepon dirinya dan mengajak bertemu.

Sandiwara Shalima [Tamat]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant