21. Lelah Pada Keadaan

1.9K 103 5
                                    

Shalima termenung. Teringat akan perkataan Arya kemarin. Tujuh tahun dirinya hidup dalam rumah tangga tanpa cinta, bertegur sapa seperlunya meski tidur di ranjang yang sama, dan hanya fokus pada kegiatan masing-masing.

Kemarin rasanya biasa saja. Namun, sekarang Shalima mulai merasa lelah. Rahul bermain di belakang, mengkhianati kesucian pernikahan. Pria itu tega menodai sakralnya janji di hadapan Tuhan. Shalima tak masalah Rahul mengacuhkan dirinya, tapi tidak sampai harus bermain gila.

Akan tetapi, Shalima menyadari satu hal. Ujian yang dia rasakan saat ini belum seberapa dengan ujian para nabi, saat menunaikan perintah menyebarluaskan agama masing di zaman masing-masing.

Contoh, ketika Nabi Ibrahim dibakar di atas api besar. Nabi Ibrahim tidak merasakan panas sedikitpun. Allah memerintahkan kepada api agar suhunya dingin dan tak menyentuh sehelai pun rambut Nabi Ibrahim.

Nabi Adam dilempar ke bumi dari surga karena terkena bujuk rayu iblis untuk memakan buah khuldi. Namun, Allah tidak meninggalkannya begitu saja. Allah berikan teman hidup yang diciptakan dari tulang rusuknya.

Ketika pertama kali Nabi Muhammad menyebar wahyu, banyak pedang terasah untuk memenggal kepalanya. Berbagai fitnah datang menerpa. Tak terhitung banyaknya jebakan yang sengaja diciptakan untuk menjebak Nabi. Bahkan kotoran unta yang sengaja dipungut untuk dilempar kepada Nabi saat lewat di jalan mereka.

Shalima tersenyum kecut. Ia kembali bersemangat kala mengingat kembali cobaan yang diberikan kepada Nabi dan Rasul. Benar, cobaan ini bukanlah apa-apa. Anggap saja penyakit yang belum diketahui apa adalah sebentuk teman untuk menemani hari-harinya.

Segala bentuk ujian yang didapatkan sekarang hanyalah setitik debu dari ujian orang terpilih. Jika Rasul yang mulia saja diuji sedemikian rupa, apalagi dirinya yang hina. Shalima tidak berhak protes atas nasib yang diterima.

"Heugh!"

Shalima merasa perutnya bergolak hebat. Ia berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Berdarah lagi, tapi tidak banyak. Malah air mata yang banjir. Tak kuasa melihat wajah sendiri yang semakin tirus dan pucat di cermin wastafel.

"Sakit, Ya Allah. Hati hamba sakit. Selama ini hamba sabar menjalani ujian yang Engkau berikan. Nggak masalah suami hamba memiliki hati sekeras batu, tapi kenapa harus selingkuh, Ya Allah?" rintih Shalima lirih.

Shalima tak bisa memaafkan dosa perselingkuhan. Selama ini, ia selalu berhati-hati dalam bersikap. Bahkan saat Faaz menyatakan cintanya pun Shalima berusaha tidak menganggap.

Hati wanita mana yang tak berbunga kala dicintai oleh seorang pria. Terlebih lagi, Shalima sudah lelah diabaikan suami sendiri. Namun, Shalima terus memagar diri dari rayuan lelaki lain. Ada Rahul di hatinya, ayah dari putra semata wayang mereka.

"Harusnya Abang bawa perempuan itu ke hadapan Shalima, Bang. Jangan main belakang! Nggak ada yang lebih sakit kecuali Abang tipu Shalima dalam pernikahan ini!"

Pengkhianatan ini sangat menyakitkan. Shalima merasa sudah begitu banyak berkorban. Ia rela bersandiwara demi menjaga nama baik keluarga. Lalu dengan teganya Rahul berikan luka menganga setelah apa yang dilakukan oleh Shalima.

"Abang jahat. Jahat banget. Shalima nggak tau harus nyesel atau nggak karena nikah sama Abang. Andai nggak ada Bagas, Shalima pasti udah pergi, Bang."

Lelah bermonolog sendiri, Shalima keluar dari kamar mandi. Noda darah di wastafel telah bersih kembali. Di luar sana, matahari tak terik lagi. Namun, entah kenapa Shalima menggigil. Ia kedinginan tanpa sebab.

Usai mengambil baju hangat dan mengenakan di atas gamis, Shalima berdiri di pintu balkon yang tertutup rapat. Waktu sudah mendekati senja. Mentari sedang bersiap-siap menunjukkan aksi parade jingga di kaki cakrawala.

Sandiwara Shalima [Tamat]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن