6. Pengakuan Faaz

2.5K 104 3
                                    

"Aduh!" ringis Ratu.

Tangannya terkena wajan panas saat sedang membuat mie goreng di dapur. Perasaan wanita paruh baya itu mendadak tidak enak. Ia teringat sang menantu di sana.

Apa Rahul meninggalkan Shalima? Apa putranya memperlakukan Shalima dengan tidak baik?

Ratu mematikan kompor dan beranjak ke ruang tengah. Firasat seorang perempuan jarang salah. Apalagi statusnya sebagai ibunya Rahul dan mertua bagi Shalima. Keakraban mereka membuat jalinan ikatan batin yang erat sehingga apapun hal buruk yang terjadi pasti Ratu akan gelisah.

Di ruang tengah ada Heri dan Arya. Mereka sedang membahas pekerjaan. Anak kedua Heri Bramantyo itu baru saja sampai dari Singapura. Ia berhasil mendapatkan saham terbesar di perusahaan baru yang bergerak di bidang otomotif. Mereka mendapat kesempatan bagus untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan tersebut.

"Darah Bramantyo emang nggak diragukan lagi. Kalian selalu bikin Papa bangga. Semoga sayap perusahaan kita makin membentang lebar ke depannya. Dengan begitu, hidup cucu-cucu Papa akan terjamin!" kata Heri bangga.

Ratu mengusap kepala Arya dengan lembut. Ia memuji kehebatan putra keduanya dan segera memanggil sang suami untuk menyampaikan keluh kesahnya.

Heri menoleh lalu tersenyum hangat mendapati raut wajah Ratu amat cemas. Mata Heri menyipit saat mendapati sesuatu. Pergelangan tangan kanan Ratu memerah.

Ratu lekas duduk di hadapan Heri. Ia menatap suami serta putranya secara bergantian.

"Tangan Mama kenapa?" tanya Heri, diangguki oleh Arya.

"Kena wajan. Nggak tau kenapa Mama ingat Shalima. Perasaan Mama kayak nggak enak gitu, Pa. Coba, deh, Papa telepon Rahul terus tanyain mereka lagi di mana. Sama tanyain kapan pulangnya!" kata Ratu gusar.

"Mereka pasti baik-baik aja. Kan, ada Rahul yang jagain Shalima sama Bagas. Apalagi yang Mama khawatirin?" tanggap Heri santai.

"Kayak Papa nggak tahu saja gimana sikap Rahul sama Shalima. Cepet, ih! Mama nggak tenang kalau belum dapat kabar. Ini udah jam sepuluh malam tau, Pa." Ratu menatap suaminya dengan kesal.

Demi menenangkan hati sang istri, Heri akhirnya mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Akan tetapi Arya mencegah, katanya biar dirinya saja yang menghubungi mereka.

Bersamaan dengan nada sambung yang terdengar di telinga Arya, suara notifikasi ponsel Heri juga berbunyi. Heri mengambil ponsel dan membaca pesan yang masuk barusan.

"Abang di mana?" tanya Arya ketika sudah terhubung.

Beberapa saat lamanya, Arya mendengar jawaban dari Rahul dengan seksama. Rahang pria itu mengetat bersamaan dengan Heri yang terlihat murka.

Melihat ekspresi suami dan anaknya, Ratu bingung sekaligus cemas. Pasti terjadi sesuatu pada Rahul dan Shalima. Kalau tidak, tak mungkin Arya sampai semarah itu. Wajah Heri pun mendadak keruh.

"Kata Abang, Shalima kecelakaan di pestanya Om Rafa. Sekarang, mereka sedang di rumah sakit!" kata Arya setelah memutuskan panggilan.

Mata Ratu membola. "Kecelakaan? Kenapa? Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Nggak tau kenapa, ada pot semen jatuh dari atas. Bahu Shalima patah dan harus dioperasi malam ini juga," terang Arya dengan napas memburu.

Bisa-bisanya Rahul lalai dalam menjaga sang istri. Terlebih lagi, Shalima berani mengambil keputusan berbahaya demi menyelamatkan suaminya.

Sengaja Arya tidak menceritakan kronologi kejadian. Takutnya, Heri murka dan Ratu akan marah-marah pada abangnya.

Arya tidak ingin bertindak terlalu jauh. Jika bukan Shalima sendiri yang bercerita, biarlah semuanya samar dan tak terbaca.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang