11. Tumbang

2K 102 1
                                    

Suara telepon rumah berteriak nyaring minta diangkat. Bu Narsih berlari-lari kecil dari arah dapur.

Tangannya sibuk mengelap tangan di daster lusuh yang ia kenakan, lalu menyambar pesawat telpon secepat kilat. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk saat mengiyakan setiap perkataan si penelepon di seberang sana.

"Siang ini juga, Non? Iya. Baik. Nanti saya sampaikan ya, Non? Iya, sama-sama. Selamat siang!"

Setelah selesai menerima telepon, wanita itu kembali berlari kecil menuju kamar majikannya. Tangan kasarnya mengetuk pintu sekali, lalu masuk saat dipersilahkan.

Shalima tampak tengah mengelus pelan kepala Bagas. Pangeran kecil itu tertidur nyenyak. Melihat Bi Narsih berdiri ragu, Shalima tersenyum dan mempersilakan dia bicara.

"Sekretarisnya Den Rahul telepon, Non. Katanya Den Rahul nggak bisa pulang. Ada kerjaan mendadak gitu." Bi Narsih menyampaikan amanah dengan suara amat pelan.

Respons Shalima hanya tersenyum. Walau tidak dijelaskan panjang lebar, Shalima tahu ke mana suaminya pergi. Bodoh jika Shalima percaya. Dungu kalau dirinya tak tahu apa-apa.

"Makasih, Bi. Berarti nanti pintu depan bisa langsung dikunci. Ibu juga bisa tidur cepat," balas Shalima.

"Non Shalima nggak papa?"

"Nggak papa, Bi. Orang Abang kerja, kok, bukan ngapa-ngapain."

Bi Narsih menatap Shalima kasihan. Ia tahu persis perjalanan rumah tangga yang dijalani oleh Shalima sama sekali tidak mudah. Namun, gadis itu tetap memaksakan diri. Ibarat melati di antara tanaman berduri, tak bisa bergerak karena bisa-bisa merugikan diri sendiri.

Hati wanita Aceh memang setegar karang. Lembut, tapi mudah sekali patah. Keras seperti batu obsidian, dengan seribu tangis yang disembunyikan.

Hati wanita tua itu berbisik. Jika dirinya berada di posisi Shalima, apakah Rahul bisa hidup tanpa cacat? Bi Narsih tidak menjamin dirinya tidak melakukan apa-apa. Kemungkinan terkecilnya adalah berpisah di pengadilan agama.

"Bu, kok, bengong?" tegur Shalima.

"Anu, Non. Bibi nggak ngerti kenapa Non Shalima nggak pergi aja dari sini."

"Hah?" Mulut Shalima melongo.

Ekspresi menggemaskan itu diabaikan oleh Bi Narsih. "Den Rahul udah kelewatan, loh, Non. Pertama kali nikah sama Den Rahul, Non pasti mikir lama-lama Den Rahul bakalan buka hati, kan? Sampai saat ini, malah belum ada tanda-tanda. Bukannya Bibi mau kurang ajar, ya, Non. Mending Non Shalima cari kebahagiaan Non sendiri."

Perkataan Bi Narsih membuat Shalima terkesiap. Ya, seharusnya ia kembali saja ke Aceh. Hidup sederhana, bahagia karena dekat dengan rumah terakhir orang tuanya. Di sini memang serba mudah dan berkecukupan, tapi tidak dengan kebahagiaan.

"Rasanya Bibi nggak terima Non Shalima dizholimi."

"Kata siapa Shalima dizholimi, Bi?" Bibir Shalima tersenyum kecil.

"Kata Bibi. Padahal Bibi tahu, Non. Hati Den Rahul nggak jahat. Cuek memang dari kecil, tapi anaknya baik, Non. Cuma nggak tahu kenapa sama Non Shalima jadi gitu."

"Abang emang baik, kok, Bu. Buktinya Shalima dikasih fasilitas, dikasih nafkah, bisa beli baju bagus, makan enak, anak Shalima juga disekolahin di sekolah keren. Abang juga masih mau imamin Shalima salat. Jadi, Shalima tahu hati Abang itu bersih," ujar Shalima.

"Kenapa orang baik kayak Non Shalima jodohnya sama Den Rahul, sih? Bibi nggak tega, Non. Sumpah!" Bi Narsih mengangkat jari telunjuk dan jari tengah, tanda bersumpah.

"Bi!" tegur Shalima lembut sembari menatap penuh peringatan.

Sadar telah melewati batas, Bi Narsih meminta maaf. Simpati membuat dirinya lupa tidak boleh bicara berlebihan. Mungkin bukan perkara perbedaan kedudukan antara pembantu dengan majikan, melainkan soal ghibah. Shalima pasti tidak suka membicarakan orang lain di belakang. Apalagi tentang suaminya.

Sandiwara Shalima [Tamat]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin