43. Kalut

2.5K 107 6
                                    

Ctring.

Suara notifikasi yang berasal dari laptop berlogo apel digigit sebelah memaksa Rima memeriksa benda itu sejenak. Entah siapa yang mengirimi pesan di tengah malam buta seperti ini.

Wanita itu mengerutkan kening. Ternyata ada dua e-mail yang baru masuk. Ia membuka pesan pertama.

[Halo, Rima Shakila. Saya Caroline. Bagaimana keadaanmu? Apa kalian baik-baik saja? Ah, aku hanya ingin memberitahumu kalau besok adalah hari pertama aku melakukan terapi pada saudarimu. Semoga kau tidak keberatan dengan keputusan mendadak ini. Alex bilang, hobiku memang membuat orang serangan jantung. Maka dari itu istirahatlah dengan benar, Nak. Jaga saudarimu sebagaimana kau menjaga dirimu sendiri. Hari melelahkan sedang menanti kita.

Salam sayang,
Caroline]

Berarti besok Caroline akan datang ke mari. Jujur, Rima tidak terkejut. Hatinya malah senang bercampur haru. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Shalima mendapat penanganan dari ahli.

Jika menurut Alex, Caroline adalah psikiater terbaik, maka Rima akan mempercayai itu. Tuhan pasti punya alasan mengapa mengirimkan mereka ke Groningen, tinggal di sini, dan bertemu Caroline.

Rima percaya, suatu saat nanti Shalima sembuh. Kakaknya yang hangat itu pasti akan menjalani hidup dengan baik. Menjadi nyonya Belanda yang ceria dan penuh cinta.

"Makasih, Alex," bisik Rima.

Kemarin sebelum pulang, Alex memberitahu alasan mengapa Caroline memutuskan untuk mengobati Shalima. Tak hanya karena naluri keibuan yang dimiliki oleh wanita berhati lembut itu, tapi ada fakta penting lainnya. Hanya Alex yang tahu.

Sepuluh tahun lalu, anak pertama sang profesor mengalami depresi karena hamil di luar nikah dan ditinggal mati sang kekasih. Saat itu, Caroline belum menjadi psikiater. Bahkan belum memiliki pikiran untuk menjadi ahli kejiwaan.

Di usia tiga puluh lima tahun, Carolime masih menyenangi dunia seni sebagai mata pelajaran yang diajarkan di universitas. Memahat kayu, melukis dan berbagai hal dalam dunia seni adalah dunianya.

Akan tetapi, haluannya berubah setelah sang putri tewas akibat loncat dari lantai tiga dari rumahnya. Caroline merasa terpuruk selama tiga tahun. Andai dia bisa mencintai putrinya lebih dalam, pasti dia masih hidup sampai sekarang.

Saat melihat kasus depresi di kalangan anak muda meningkat di berita, Caroline memutuskan kembali mengejar studinya. Wanita itu banting setir ke dunia kejiwaan.

Dia tidak mau ada lagi yang meninggal karena disebabkan oleh depresi. Saat melihat Shalima, entah kenapa keinginan untuk membantunya sembuh langsung muncul.

"Jika melihat usianya, Shalima dan putri Profesor Caroline hampir sebaya. Dari matanya, aku tahu dia merasakan kehadiran putrinya di dalam diri Shalima," ucap Alex kala itu.

Rima tersenyum, Allah memiliki banyak cara untuk memberikan ujian. Lalu membantu hamba-Nya keluar dari rasa terpuruk dengan menghadirkan cinta kasih dalam hatinya. Baik itu muslim maupun non-muslim, cinta dari Tuhan sama rata.

Tanpa membalas pesan dari Caroline, Rima membuka e-mail kedua. Ternyata dari Faaz. Sudah lama sekali Rima tidak berkomunikasi dengan orang-orang di Indonesia.

Ratu telah membuat hatinya beku. Andai itu keluarga Bramantyo, Rima tidak akan membaca dan langsung menghapusnya. Berhubung ini Faaz, maka tak apa. Pria itu tak memberi andil dalam luka Shalima.

[Assalamualaikum, Cebol.
Bagaimana kabar dan semuanya? Saya harap kamu tidak sedang tersesat di antara kerumunan bule yang tinggi besar. Mereka bisa saja membuatmu terjepit lalu mati kehabisan napas. Mengerikan.]

Sandiwara Shalima [Tamat]Where stories live. Discover now