18. Arti Keluarga

1.6K 87 4
                                    

Di rumah megah berlantai dua ini, keributan kecil terdengar memenuhi penjuru rumah. Bagas merajuk karena tidak menemukan sang ayah di kamar orang tuanya. Awalnya Bagas ingin diantarkan sekolah oleh Rahul, tapi pria itu malah menghilang sejak kemarin.

Alhasil, rumah yang telah dihuni oleh Shalima selama tujuh tahun belakangan ini menjadi ribut. Suara omelan Bagas berlomba dengan suara tinggi Bi Narsih. Wanita tua itu berusaha membujuk Bagas agar tenang, tapi nihil. Bagas terus mengomel selama satu jam.

Shalima yang sedari tadi berusaha diam mulai tak tahan. Wajahnya datar saat meminta Bagas tenang dan bersiap-siap pergi sekolah.

"Bagas nggak mau sekolah! Bagas nggak mau sekolah kalau bukan dianterin sama Abi! Bagas mau di rumah aja!" Bocah itu berlarian menghindari Shalima.

"Abi mungkin ditelepon orang kantor karena ada masalah. Makanya Abi pergi duluan. Ayo, mandi sama Ummi!"

"Nggak! Bagas nggak mau!"

Beberapa hari ini, tingkah Bagas agak lain. Dia mulai merajuk dan memaksakan kehendaknya.

"Nanti pergi sekolah diantar Bi Narsih. Kan, bisa naik taksi. Ummi antar pakai motor juga bisa," bujuk Shalima.

"Nggak mau! Bagas maunya sama Abi!"

Wanita itu masih belum terlalu pulih. Kepalanya masih berdenyut pusing. Semalam saja Shalima muntah-muntah sampai perutnya kosong dan mata berkunang-kunang. Nyaris saja ia jatuh pingsan.

Saat memutuskan berhenti menunggu Rahul pulang, Shalima malah dikejutkan oleh kedatangan suaminya. Belum sempat ia terlelap, panggilan telepon entah dari siapa membuat pria itu pergi lagi tanpa mengucapkan sepatah katapun padanya.

Sekarang, Bagas malah membuat tingkah. Apa yang harus dia katakan selain berbohong kalau ayahnya sibuk di kantor?

"Bagas nggak mau sekolah! Titik!"

Shalima benar-benar tak tahan lagi. Ia mengangguk dan mengangkat tangan kanan.

"Bagas nggak mau sekolah? Oke, nggak apa-apa. Ummi nggak akan maksa Bagas lagi, tapi jangan ganggu Ummi di kamar, Ummi mau istirahat sebentar," pasrah Shalima sembari memegangi kepala yang sakit.

Bocah kecil itu terdiam. Matanya menatap tubuh sang ibu sebelum hilang di ujung tangga. Terbersit penyesalan dalam hati. Ia malah bertingkah menyebalkan, padahal ibunya sedang sakit.

Bagas menatap Bi Narsih yang sedang membersihkan meja makan. Mata berwarna abu-abu terang itu meredup.

"Bu Narsih, Bagas udah nakal ya, sama Ummi? Bagas nyebelin, ya?" tanyanya.

Usai melampirkan kain lap di bahu, Bi Narsih berjongkok menyetarakan tinggi badannya dengan Bagas. Wanita paruh baya itu tersenyum. Akhirnya tuan muda bisa tenang.

"Ummi lagi nggak enak badan, bukan sebal atau marah. Makanya Ummi ke kamar dan biarin Den Bagas nggak sekolah."

"Bagas bikin Ummi pusing, ya? Bagas harus ngapain, Bu?"

"Menurut bibi, mending Den Bagas pergi sekolah aja. Biar Ummi senang dan cepat sehat lagi. Kalau perasaan seseorang bahagia, sembuhnya pasti lebih cepat."

"Beneran, Bu?"

"Iya, Ganteng. Kalau Den Bagas mau lindungi Ummi, Den Bagas harus rajin belajar biar pintar dan nggak mudah ditipu sama orang dewasa. Nanti, Ummi bakalan bangga saat lihat Den Bagas udah dewasa, punya otak cerdas, dan jadi orang kuat."

"Kalau gitu Bu Narsih bantu Bagas siap-siap, ya? Bagas mau sekolah biar Ummi cepat sembuh. Bagas, kan, mau jadi malaikat penjaga Ummi!"

***

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang