Lilian terbatuk. Rokok yang tadi disulutnya sudah jatuh. Wanita itu membenarkan posisi dan menyisir rambut. Memandanginya dengan keangkuhan, juga seringai menakutkan.

Mengulang hal yang sama, Lilian kembali mendekat dan menyentuh sisi wajah Romeo. "Waktumu tiga jam untuk membuat orang itu membayar hutangnya padaku. Jika lebih dari itu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan tadi... pada ibumu."

🔥

Tidak, Bella tidak melarikan diri. Ia tengah duduk di sofa nyaman berwarna putih gading, memangku sepiring pancake hangat, tepat di sebelah Romeo yang sedang mengunyah.

Mereka sama-sama duduk di ujung sofa. Romeo tampak sangat lahap dan itu menjadi kesempatan Bella memandangi laki-laki itu.

Kini di dalam benaknya, sosok Romeo sudah menjelma semakin jelas. Dalam jarak yang terbilang dekat ini, Bella melihat laki-laki kesepian yang tengah menandaskan makanan di piring.

Tapi kali ini berbeda. Tiba-tiba Bella justru merasa iba.

"Enak." Kata Romeo. Dan meletakkan piring di atas meja, lalu mengambil kopi yang tadi dibuatnya.

Katanya, karena Bella yang sudah memasak, maka Romeo yang akan mencuci piring. Untuk itulah Bella saat ini sedang menatap punggung tegap laki-laki yang tengah mengeringkan piring itu dari sofa tempatnya duduk.

Melihat punggung Romeo mengingatkannya pada sesuatu. Bella dengan mudah menemukan kotak obat di dinding sebelah pintu masuk lalu menghampiri Romeo. "Biar kuobati punggungmu."

Romeo menoleh pada Bella, lalu menatap turun kotak obat di tangannya. "Tidak perlu. Biasanya sembuh sendiri."

Biasanya? Itu artinya Romeo sudah sering mendapat luka seperti ini. Dan tidak ada seorang pun yang tahu keadaannya karena pasti laki-laki itu menyembunyikannya. Hati Bella teremas memikirkannya.

"Romeo," Bella menarik lengan baju laki-laki itu. Membuat Romeo menoleh lagi padanya. "Biarkan aku melakukannya."

Romeo meletakkan piring di lemari atas dan mengeringkan tangannya. "Baiklah."

Mereka kemudian kembali ke sofa dan Romeo duduk membelakangi Bella. Ia mengeluarkan salep dan beberapa perban dari kotak obat dan menggulung bagian belakang t-shirt Romeo untuk memudahkannya. Namun laki-laki itu malah menggapai bagian leher belakang t-shirt dan melepaskannya dalam satu tarikan.

Ok. Baiklah.

Bella mulai mengoleskan salep pada area lebam yang bahkan saat ini sudah berubah ungu. "Apa yang digunakan orang-orang itu untuk memukulmu?"

"Beberapa menggunakan tongkat, beberapa memakai ikat pinggang."

Meski tangan Bella gemetar, ia tetap melanjutkan mengoleskan salep itu. "Bagaimana jika sebaiknya kita ke rumah sakit? Setidaknya mereka bisa memeriksa apakah ada luka dalam."

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Sebenarnya Bella merasa terlalu memaksa, tapi dirinya tetap bicara. "Aku akan menemanimu ke sana."

Beberapa saat diam lalu Romeo menjawab. "Aku baik-baik saja, Bella."

Bella mungkin tidak pandai mendesak seseorang. Tapi untuk sekarang ia akan mempercayai perkataan Romeo. "Paling tidak kau harus melaporan mereka ke polisi."

Lagi, Romeo terdiam. Tidak ada jawaban dari laki-laki itu dan Bella baru menyadari, pastilah ada sesuatu yang membuat Romeo tidak bisa melaporkan perbuatan ini.

Salep itu hampir habis, dan Bella sampai di bahu sebelah kiri Romeo. Di tempat tato sayap yang menarik perhatiannya dulu. Jari Bella mengikuti gambar itu, sambil memperhatikan lebih seksama.

PrepossessWhere stories live. Discover now