Tenth Chapter

60 15 0
                                    

"Semakin umurku bertambah, semakin aku mengerti. Semakin aku mengerti, semakin aku tahu betapa mengerikannya kehidupan ini."

✈✈✈

Dalam kesunyian petang dan remangnya cahaya matahari yang perlahan digantikan kedip lampu perumahan warga, aku menekan dada dan detakan jantung yang semakin menggila. Napasku tersendat dan aku tak tahu harus melakukan apa meski mengetuk pintu adalah kuncinya.

Dengan gerakkan patah-patah, aku mengetuk pintu rumah minimalis itu. Kenanganku terakhir kali berasama Ayah adalah kenangan yang luar biasa buruk. Namun hari ini, aku sangat ingin menemuinya.

Tak lama pintu terbuka dan aku kini menatap seorang ayah dalam delapan tahun ia menghilang dari kehidupanku. Wajahnya jelas bertambah tua dari terakhir kali aku mengingatnya. Kerutan lelah di dahi dan pinggiran mata, serta di beberapa sisi area dagu, membuatku semakin yakin dan mengeluarkan air mata perlahan.

"Ya?" Laki-laki itu mengerutkan dahinya yang sudah berkerut. "Siapa?" Dia melirikku serta koper besar yang aku bawa dan itu membuat raut herannya semakin menjadi.

"Ayah ...," suaraku terdengar gemetar dan itu mengubah sorot mata laki-laki di depanku.

Dia melebarkan mata dan menatapku tidak percaya. "Cheryl?" Persis seperti kali pertama bertemu Emily.

Aku langsung memeluknya dan kami langsung berpelukan saat itu juga. Dalam waktu yang cukup lama, kami berbagi cita di samping suasana haru. Aku merasakan pelukan yang begitu hangat. Saking hangatnya aku sampai mengingat satu adegan baru ketika umurku tiga tahun.

Aku dapat mendengar hujan deras serta petir badai yang seharusnya dapat menakutiku. Akan tetapi, saat itu aku tidak takut. Aku lupa sudah jam berapa, namun itu sudah benar-benar malam dan aku tidak bisa tidur. Aku merangkak pelan ke bawah ranjang dan mendengar suara isakkan yang begitu mengerikan.

Seluruh lampu di rumah mati dan aku terlalu pendek untuk mencapai saklarnya. Akan tetapi, dari cahaya kilat, aku melihat Emily meringkus di pojok kamar dekat pintu. Lututnya terlipat dan kedua lengannya memeluk lutut tersebut. Aku tak tahu jika Emily benar-benar menangis karena ia hanya mengerang seperti orang kedinginan.

"Kakak ...," panggilku seraya mendekati Emily dengan hati-hati. Pada kilatan yang kesekian, aku dapat menangkap mata Emily yang kini menatapku. Bunyi hujan semakin menyamarkan suara-suara keheningan dan keputusasaan di dalam rumah ini. Dan aku tidak mengerti apa-apa.

Aku duduk di samping Emily kemudian ketika menyadari jika dia saat itu menangis. Aku bertanya kenapa, tapi Emily tetap mengerang dan menggigil. Rasanya saat itu dia benar-benar menakutiku sehingga aku mencoba untuk memeluknya dan menenangkannya.

Emily justru menangis lebih kencang ketika aku memeluknya. Tubuhnya gemetar dan aku tak mengerti kenapa. Saat itu aku tiga tahun dan Emily lima tahun. Aku mengerti kemudian kenapa dia ketakutan tepat ketika aku sudah menginjak umur lima tahun juga.

Ketika umur tujuh tahun, keceriaan yang dimiliki Emily seolah sirna dan saat itu aku baru lima tahun untuk mengerti mengapa. Aku terlalu sibuk memikirkan ketakutanku akan Ibu dan Ayah.

Emily sembilan tahun dan dia pergi bersama Ayah. Sementara aku tujuh tahun dan tinggal bersama Ibu. Pada umur yang sama, aku merasa keceriaan yang kumiliki juga perlahan hilang. Aku tidak sebersemangat anak-anak lainnya dan pandanganku akan dunia menjadi aneh.

Semakin umurku bertambah, semakin aku mengerti. Semakin aku mengerti, semakin aku tahu betapa mengerikannya kehidupan ini. Satu-satunya anugerah terbaik bagi manusia adalah tidak dilahirkan.

Kebahagiaan terasa begitu mahal. Kartun yang kutonton hanya menjadi pengalih perasaan dan es krim yang kumakan hanya suntikan pemanis. Entah aku yang tak bisa keluar dari masa lalu atau masa lalu yang sudah menenggelamkanku terlalu dalam, aku tak tahu. Ketika melihat dunia luar rasanya aku ingin menarik diri. Tak ingin menyeret siapapun untuk memasuki permasalahan duniaku.

Emily's Clue [TAMAT]Where stories live. Discover now