Nineteenth Chapter

47 9 0
                                    

"Aku ingin menjadi bagian kebanggaan diriku. Dan itu amat serakah."

✈✈✈

Malam ini, di depan televisi dengan tatapan kosong, aku menunggu Ayah pulang. Aku tidak ingin menyalahkan sepenuhnya atas pukulan yang ia berikan di pelipisku karena mungkin aku yang salah. Mungkin Ayah kesal karena selama ini aku tinggal dengan Ibu dan itu mengingatkannya pada Ibu atau kesal karena mungkin Emily menceritakan sesuatu melalui telepon terhadap Ayah yang memberikan kesalah pahaman.

Intinya, ini mungkin salahku.

Aku akan mengajaknya bicara baik-baik, menurunkan tensi di antara kami, lalu meminta maaf.

Pikiranku mulai melayang jauh tentang akhir-akhir ini waktu yang kuhabiskan cukup jarang dengan Ayah. Kami bahkan sudah jarang sarapan dan makan malam bersama. Yang kami lakukan hanyalah saling bertatap muka dan obrolan tak penting sesaat, kemudian Ayah mendekam di dalam kamar.

Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak tahu. Bahkan rencana-rencana yang sebelumnya telah kupikirkan matang-matang, tentang mengunjungi tempat kerja Ayah, menghabiskan waktu bersama, dan mengunjungi tempat komunitas rehabilitasinya seakan hanya tinggal wacana belaka. Terutama setelah mendapat bekas luka ini, aku rasa akan sulit untuk kembali memulai.

Namun, aku akan mencobanya.

Beberapa saat, terdengar daun pintu yang ditekan beberapa kali. Aku menoleh dan bangkit seketika. "Ayah!" panggilku dengan senangnya. Akan tetapi, ketika pintunya terbuka, jariku langsung menutup hidung seketika.

Sial! Ini bau sialan!

Mataku melebar seakan melihat deja vu dalam bentuk laki-laki. "What the ...."

Ayah berjalan sempoyongan dengan botol miras di tangan. Matanya sayu tak jelas menatap mana, kepalanya linglung, sementara mulutnya bergumam tak jelas.

"Ayah minum?" suaraku dipenuhi ketidak percayaan. Sudah dua kali aku melihat Ayah minum padahal Emily memastikan jika Ayah berada di komunitas dan itu sudah menunjukan hasil yang signifikan. "Kenapa Ayah minum?"

"E ... mily ...," suara serak itu mengigau memanggil nama puterinya. "Ke sini kamu!"

Aku mundur perlahan ketika Ayah menodongkan botol bir itu padaku. Beberapa isinya berceceran disertai dengan muntahan Ayah. Aku menjerit takut melihat hal itu. Kakiku gemetar dan keringat dingin mengembun di sekujur punggung dan dahi.

"Ayah kenapa?" suaraku bergetar. Sialnya, mata merah Ayah kini menatapku intens. Aku menelan ludah meski itu terasa seperti menelan paku.

"Emily!!"

Aku menjerit ketakutan ketika Ayah mengangkat botol itu dan berlari menerobos cepat. Seketika aku menaiki tangga dan lari menuju kamar. Jantungku hampir copot ketika Ayah mengejar lebih cepat. Dengan napas yang memburu, kugenggam daun pintu dan berbalik badan menutupnya cepat. Keberuntungan tidak memihakku karena tangan kanan Ayah sudah berhasil menahannya.

Tanpa punya pilihan lain, aku mendorongnya secara paksa sehingga tangan Ayah terjepit pintu.

"Arghhhh!!!!" Ayah menjerit dan itu terdengar seperti jeritan yang begitu membunuh. Tangan yang memegang botol itu seketika melepas botolnya dan menarik diri keluar. Dalam kesempatan itu, aku langsung mengunci pintunya dan bersandar di pelakangnya.

"EMILYYY!!!!" Ayah berteriak dan menggedor-gedor pintu. "Emily Buka!!!" Suara Ayah seperti orang tercekik dan itu benar-benar menakutiku. Tanpa kusadari, tanganku yang basah menekan dadaku yang merasakan detakan memilukan. Air mataku keluar begitu saja dan langkahku mundur perlahan dari pintu itu.

Emily's Clue [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang