BAB 27

17.2K 1.9K 83
                                    

~ Happy reading ~

================

Kelopak mataku bergetar untuk beberapa saat, menyesuaikan dengan cahaya yang membanjiri keduanya. Awalnya semua tampak kabur, putih dan menyilaukan. Aku mengalami disorientasi, tetapi aku tidak menemui mimpi buruk dalam tidurku.

Aku kembali memejamkan kedua kelopak mataku untuk beberapa saat, sebelum membukanya kembali dengan perlahan. Gambaran ingatanku yang tadinya berhamburan, pelan-pelan mulai menghinggapi kepalaku.

Ketika kesadaranku sepenuhnya pulih kembali, pertama kali yang aku rasakan adalah sakit di mana-mana terutama belakang kepala, di sekujur wajah serta lenganku. Tenggorokanku juga terasa begitu kering, seperti sudah berminggu-minggu tak bertemu air.

Di mana aku?

Kepalaku berputar lemah. Aku tidak menemukan seorang pun ada di ruangan ini. Gambaran ingatan di memoriku datang dan semakin lengkap. Semua kejadian-kejadian penuh teror yang baru saja kulewati kembali datang dan melintas dengan lambat. Seperti layar bioskop yang diputar di kepala, aku dipaksa untuk menelan seluruh gambarnya, tanpa bisa berpaling ataupun menutup mataku.

Tanpa kuinginkan, seluruh tubuhku bergidik dengan sendirinya.

Di mana aku?

"Nona Laura? Anda sudah siuman." Sebuah suara tiba-tiba menyapa telingaku. Aku menggeser kepalaku dan langsung menarik napas lega saat menemukan seorang perawat berjalan ke tempatku berbaring. "Tunggu sebentar, saya akan panggilkan dokter untuk memeriksa anda dengan segera."

Belum sempat aku mengangguk, perawat itu sudah terbang cepat meninggalkanku. Padahal aku ingin sekali membuka mulutku dan bertanya padanya, di mana aku?

Suara kaki berderap masuk membawa kepalaku untuk berpaling ke arah pintu. Aku sudah menduga pasti dokter bersama perawat tadi.

"Laura?"

Oh. Alexander! Mataku menatapnya lemah. Dialah satu-satunya pria yang begitu kurindukan, tetapi sekaligus aku benci. Aku merasa dikhianati dan dipermainkan olehnya, lantaran begitu banyak cerita yang sudah ia sembunyikan dariku.

Alexander berjalan buru-buru ke arahku. Ia masih setampan seperti yang aku ingat, walaupun sekarang wajahnya tampak pucat dan tertekan. Kelelahan menggurat jelas di bawah matanya, seperti sudah berhari-hari tidak bertemu bantal.

Berdiri di samping tempat tidurku, kedua bola mata kelabunya memancar lembut saat jemarinya terulur dan mengusap permukaan wajahku hati-hati. Secara naluri aku meringis, meski kulitku tidak merasakan nyeri sama sekali akibat sentuhannya.

"Laura? Ya Tuhan. Akhirnya kamu siuman." Bisiknya serak penuh derita, kelopak matanya berkedip cepat. "Bagaimana perasaanmu?"

"Sakit. Haus." Aku ingin mengeluarkan suaraku dengan sedikit lantang tetapi kerongkonganku terlalu kering. Suaraku hanya berhembus lirih. "Di.. di mana aku?"

"Rumah sakit. Kamu terluka cukup parah kemarin. Maafkan aku." Ia menunduk seolah menahan kesakitan.

Kemarin? Berapa lama aku tidak sadarkan diri?

Rumah sakit?

Apa?! Rumah sakit?!

Seketika aku menatap Alexander, sorot mataku menggelepar dalam kepanikan.

"N.. naomi?!" Bibirku mendesah ngeri. Aku tidak mau berada di rumah sakit itu! Hal terakhir yang ingat tentang Naomi adalah amarah, dendam dan ia ingin menyingkirkanku.

Terkejut dengan reaksiku, Alexander seketika berdiri dan merangkum wajahku dengan hati-hati.

"Tenang, Laura. Tenang. Kamu tidak dirawat di tempat Naomi. Kamu aman sekarang. Kamu aman." Alexander menjawab cepat dengan suara bergetar seolah tersedak kalimatnya sendiri. "Semua salahku, maafkan aku."

[ END ] Broken ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang