BAB 11

17.1K 2.3K 184
                                    

~ Happy reading ~


=======================

Billy!

"Lepaskan aku, Bajingan!" Pekikku nyaring. Aku meronta, berusaha melepaskan cengkeraman tangannya yang besar pada lengan atasku.

"Shshhh! Jangan berisik, kita bisa bersenang-senang sebentar." Billy menyeringai di bawah redupnya lampu yang menyiram dari atas. Wajahnya tampak menyeramkan, dengan mata merah dan mulut bau alkohol. "Kamu tahu? Aku merasa cemburu melihatmu bersama pria-priamu itu. Kapan aku punya kesempatan bersamamu."

Tangan Billy menyeretku kuat ke area sebelah gedung, agak kesusahan karena aku terus meronta.

"Lepaskan tanganmu, Bajingan!" Teriakku. Aku mendorong rahang Billy menjauh dengan satu tanganku yang dicengkeram olehnya, sedangkan tanganku yang bebas memberikan pukulan telak pada rongga dadanya. Sekuat-kuatnya.

Bunyi debug keras terdengar saat Billy terdorong dua langkah ke belakang. Kesempatan ini aku pergunakan untuk secepatnya melarikan kedua kakiku, tetapi aku kalah gesit.

"Mau lari ke mana, Jalang?!" Lengan Billy berhasil meraup perutku, membuatku meronta lagi. Tak cukup sampai di situ, tubuhku yang memberontak seperti kesetanan menyulut kemarahannya. Ia melayangkan sebuah tamparan dengan punggung tangannya. Keras dan kuat mendarat di pelipis dan mata kananku.

Seketika aku terpelanting hingga punggungku menabrak punggung chevy. Kepalaku serasa berputar, pandanganku sedikit mengabur. Aku merasakan nyeri pada alisku, spontan tanganku mengelusnya sesaat. Ada bercak darah di sana.

Sialan. Aku terbakar adrenalin dan emosiku.

Saat tubuh Billy maju mendekatiku, tanpa ragu-ragu aku menyambutnya. Dalam jarak yang sudah kuperhitungkan, seperti yang Sylvia ajarkan padaku, sepenuh tenaga aku mendaratkan ujung lututku tepat di pangkal pahanya.

Ia membungkuk dengan raungan keras, kedua tangannya membekap kemaluannya menahan kesakitan. Mengambil sedikit celah, aku membawa tubuhku pergi dengan segera.

Kedua kakiku berlari kencang memasuki gedung apartemen, aku tahu kemungkinan besar Billy pasti akan menyusulku tidak lama lagi.

Seraya berlari menaiki anak tangga, dengan napas tersengal-sengal aku merogoh saku celana kerjaku dan mengeluarkan ponsel.

Nama yang melintas pertama kali dalam kepalaku adalah Alexander, tetapi otakku langsung menyadari kalau aku tak mungkin lagi menghubungi Alexander dan meminta tolong padanya.

Secepatnya aku menggeser layarku dan menemukan nama Marcus. Ia mengangkat panggilanku beberapa saat kemudian dengan nada sedikit terganggu.

"Ada apa sih ma______."

"Marcus! Tolong aku! Billy! Tolong!"

"Laura?! Oh, shit! Shit! Di mana kamu?!"

"Apartemen! Tolong! Cepat, Marcus!" Teriakku terengah-engah.

"Tahan, Laura. Dua puluh menit! Dua puluh menit!" Aku menutup panggilanku dan mempercepat langkah.

Belum pernah aku begitu gembira melihat pintu apartemenku. Tergesa-gesa dengan jari-jari gemetar, aku membuka kuncinya. Kepanikanku sedikit berkurang saat tanganku mendorong daun pintu apartemenku.

Aku menarik gerendel dan mengunci kembali pintunya. Menyalakan semua lampu, aku berjalan berputar-putar dan mulai berpikir.

Lakukan sesuatu! Lakukan sesuatu!

Come on!

Marcus tiba dua puluh menit lagi. Aku harus bergerak menolong diriku sendiri sampai bantuan tiba.

[ END ] Broken ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang