BAB 21

18.2K 1.9K 66
                                    

Moga-moga gak pada lupa jalan critanya..

duhh..

Happy reading say semua..

================

Aku membuka kelopak mataku perlahan, mengalami disorientasi sejenak. Di mana aku? Oh, aku berada di rumah peristirahatan milik orang tua Alexander.

Aku memutar kepalaku, dan menemukan Alexander tidak ada di sampingku. Merasa kehilangan, telapak tanganku meraba permukaan ranjang di sebelahku. Masih hangat, artinya Alexander belum terlalu lama bangun dari tempat tidur. Di mana dia?

Mataku menyapu sekitar. Cahaya matahari pagi berwarna kuning menyelinap lembut dari sela-sela tirai jendela warna pink pucat, dan menyebar di atas lantai kayu.

Aku beringsut untuk mencari Alexander. Tanganku menyibak selimut dan baru menyadari kalau tubuhku tidak mengenakan apapun di bawah selimut. Kepalaku berputar untuk mencari pakaian yang aku pakai semalam dan hasilnya nihil. Mataku hanya menemukan celana jeans-ku terlipat rapi di atas kursi, di sebelah tas kertas besar berisi belanjaan pakaianku.

Kakiku segera melesat menuju tas belanjaanku. Tanganku mengaduk cepat isinya dan menemukan sebuah baju tidur. Tak perlu berpikir dua kali, aku segera membungkus tubuhku dan berjalan keluar kamar untuk mencari Alexander.

Aku melangkah tanpa suara, sandal kamar beralas karet lembut menyerap suara kakiku. Aku tidak menjumpai Alexander di ruang depan ataupun ruang tengah. Sedikit ragu-ragu aku melangkah menuju dapur dan mendapati pintunya yang mengarah ke luar tengah terbuka lebar.

Aku berdiri di tengah-tengah pintunya, seketika mengagumi pemandangan di depanku. Di bawah warna kelabu dan jingga yang membentang di langit, Alexander berdiri membelakangiku di dekat kolam renang. Ia tengah memegang sebuah ponsel yang menempel ketat di telinganya, tangan satunya lagi terlipat dan bersandar di pinggangnya.

Perpaduan langit pagi dan Alexander menciptakan pemandangan paling eksotis di mataku. Ia hanya mengenakan celana piama panjang yang menggantung sexy di pinggulnya. Bagaimana hanya dengan sebuah celana tidur, seseorang bisa terlihat begitu indah? Aku bertanya-tanya sendiri.

Otot-otot bahunya meregang dan tampak gelisah, beberapa kali tangannya berpindah dari pinggang lalu naik ke atas rambut untuk mengacaknya. Suaranya berdengung rendah dan pelan. Telingaku tak bisa menangkap apa yang sedang ia bicarakan.

Aku berdiri beberapa saat, menunggunya. Menyandarkan satu sisi lenganku pada birai pintu dapur, aku memeluk diriku sendiri.

Merasa ada yang memperhatikan, Alexander berbalik dan mendapatiku berdiri tak jauh darinya. Sekujur wajahnya yang tadinya menegang, kini berangsur melembut. Ia masih berbicara dengan ponselnya, tetapi ia memerangkapku dengan kedua bola matanya.

Aku menggeliat, tersesat di kedalaman sorot mata kelabunya.

"Kami siang ini pulang. Pastikan itu." Suaranya kembali berdengung penuh tekanan, lantas menutup ponselnya. Aku masih berdiri terpaku, menatapnya saat ia berjalan memangkas jarak di antara kami. Kedua matanya merendamku, melemparkanku ke dalam bayangan apa yang kami lakukan semalam.

Hawa panas seketika merasukiku. Aku memerah tanpa diundang.

"Hai. Selamat pagi. Mencariku?" Tanya Alexander serak, hangat seperti susu coklat.

"Selamat pagi. Ya, aku mencarimu." Aku mengakui dengan wajah malu. Alexander tersenyum dan menunduk. Bibirnya menciumku ringan.

"Ayo." Tangannya menghelaku untuk masuk dan menutup pintunya. Kami berdiri di tengah dapur. "Aku sudah meminta seseorang untuk mengawasi apartemenmu, Laura. Tetapi sampai sekarang ia tidak menemukan ciri-ciri mobil sedan warna coklat tua seperti yang kamu sebutkan. Di mana persisnya kamu melihatnya?"

[ END ] Broken ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang