39 🌻🌻 Rumah Yang Sesungguhnya

32.9K 4.5K 1.4K
                                    

🌻🌻🌻

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌻🌻🌻

Rasa marah memang memberi efek buruk bagi tubuh, salah satunya adalah sakit kepala yang Dinara rasakan saat ini. Terutama jika marahnya tak tertahankan namun dia harus tetap menahannya. Saat marah, hormon adrenalin dan kortisol dilepaskan dan membuat terjadinya penyempitan pembuluh darah karena kurangnya asupan oksigen dan nutrisi ke otak. Ini penyebab ilmiah kenapa sakit kepala saat marah sering terjadi, dan rasanya tak kalah nyeri dengan sakit kepala biasa.

Setelah perbincangan yang alot dengan sang suami, akhirnya Dinara sampai di depan rumah ibunya—naik taksi, sendiri, membantah suaminya berulang kali, dan menyeret koper besar serta perutnya yang menonjol bundar. Dia menarik napas berulang-ulang sebelum meneruskan langkah, dan dari celah pagar rumah tampak adiknya tengah mengelap kap mobil kesayangan.

Dinara merasa tercabik ketika melihat itu, ada kemungkinan kalau mereka harus mengembalikannya, sementara Danish tampak sudah jatuh cinta pada mobil pemberian Arya. Dia harus menghitung tabungan dan mengganti sebesar jumlah yang dikeluarkan Arya untuk membelinya.

“Mbak?” panggil Danish. Dinara kalah cepat, dia bahkan masih melamun, termenung di luar pagar, lupa memasang ekspresi biasa-biasa saja di wajahnya. “Mbak ke sini sama siapa?” Pemuda itu buru-buru membuka pagar dan menyalaminya.

“Hai, Om Ninish,” sapa Dinara ramah sembari mengusap kepala adiknya. “Ada yang kangen nih.”

“Dedenya kangen sama aku?” Mata Danish berbinar melihat kedatangannya, tapi tidak lama, karena kemudian tatapannya mengedar ke sekitar, seperti mencari keberadaan seseorang. “Mas Arya mana? Mbak ke sini sama siapa? Kenapa bawa koper besar?” cecarnya.

“Mbak boleh masuk, Nish?”

Danish menarik napas dan menyeretnya lembut, menarik koper Dinara dengan tangannya yang lain, langsung menuju ruang tamu, tidak menunggunya duduk karena dia tampak tidak sabar untuk bertanya.

“Kenapa Mbak pulang kayak gini?”

“Mbak mau nginap beberapa hari.”

“Sama mas Arya, kan? Nanti mas Arya nyusul ke sini apa gimana? Mbak sama siapa? Masa sendirian? Hamil besar, bawa koper...”

Danish kelihatan keras sedang menyangkal.

“Mama ada?”

“Mbak jawab aku dulu,” ucapnya. Tatapan di mata anak itu berubah lain, dia bukan Danish yang biasanya. “Ada apa sebenarnya?”

“Mbak cuma mau nginap, Nish.” Dinara menundukkan kepala, posisi mereka terbalik, Danish yang jauh lebih tinggi berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat, seperti sedang mengintimidasi dan memarahi.

“Mbak kira aku sebocah itu?” tanya Danish kesal. “Aku telepon mas Arya dulu,” katanya buru-buru. “Ah, nggak usah. Aku cari dia sekalian.”

DINARA [Tersedia Di Gramedia] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang