17 🌻🌻 Menggebu-gebu

52.8K 5.1K 1.6K
                                    

Hai, bab kemarin kalian keren! Meski kolom komen lebih sedikit dari bab sebelumnya, mungkin karena isinya kurang seru, ya? Hehe

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hai, bab kemarin kalian keren! Meski kolom komen lebih sedikit dari bab sebelumnya, mungkin karena isinya kurang seru, ya? Hehe

Aku harap, bab ini ramai lagi 😘

Jangan malas isi komen di line/paragraf ya gengs. Gratis, kan? 😗

Kalau stabil terus, janji deh maraton lagi. Mau ya?

Hm, ini ada 17+ juga. Hati-hati buat anak remaja, tapi dikit aja kok hahaha

Jangan lupa vote!

Selamat membaca 😘

🌻🌻🌻🌻

PRANG!

“Sori.”

Arya mengangkat kepala setelah mendengar kegaduhan di luar ruangannya. Sesuatu yang pecah sepertinya menjadi penyebab bunyi nyaring barusan, dia memiringkan kepala, memperhatikan dari dalam, apa gerangan yang terjadi pada rekan-rekan timnya?

“Heh!” Kegaduhan selanjutnya pun tak terelakkan lagi. “Otak lo kejepit di ketek, ya?! Lo nyadar nggak sih? Lo barusan mecahin mangkok baso aci gue, Edwas!”

Tika berteriak lantang dengan mata melotot pada manajer umum di kantor mereka. Kedua tangannya terletak di pinggang, sementara pemuda oriental bermata sedikit di hadapannya hanya berdiri dengan gaya malas-malasan.

“Sadar kok, makanya barusan gue minta maaf.”

“Minta maaf nggak kayak begitu, pantat panci!” Tika meradang, dia adalah gadis asal Medan yang berwatak keras dan pandai berbincang. Dibanding Edwas si pelit bicara, sudah jelas perdebatan ini timpang. “Gila ya, dulu gue sempat naksir lelembut kayak gini. Amit-amit tujuh turunan delapan tanjakan sembilan belokan sepuluh tikungan. Najis!”

Sementara teman-temannya yang lain menyengir dan mengulum tawa atas umpatan Tika barusan, Edwas justru hanya menggeleng pelan dan berjalan memutar untuk mengambil sapu pel dan membersihkan tumpahan kuah baso aci yang dibawa Icha dari kampungnya di Tasikmalaya, tapi dia bilang baso aci itu dari Garut—kontradiksi memang. Icha memberikan beberapa bungkus untuk Arya, katanya titip juga untuk Dinara.

“Yang bener bersihinnya!” omel Dian pada Edwas, pemuda itu hanya menggosok-gosok kain pel tanpa terlihat benar-benar ingin membereskan kekacauan.

“Itu belingnya dipungut dulu dong, bambang! Emut pake mulut biar kayak kuda lumping lo!” Henny juga ikut menimbrung dan menambah-nambahi omelan yang Edwas terima.

“Tahu nih manusia sebiji, kalau bukan orang kepercayaan pak Arya udah gue tempeleng kepala otak kau!” Bahasa Medan ala Tika keluar, dan itu artinya dia benar-benar sedang marah.

DINARA [Tersedia Di Gramedia] ✔Where stories live. Discover now