14

13.6K 1.1K 51
                                    

Tubuh Dyba membeku. Ia menatap tidak percaya seseorang dengan banyak alat yang melekat di tubuhnya. Sahabatnya yang kemarin baru saja menjenguknya di rumah sakit sekarang malah ganti tertidur di ranjang rumah sakit dengan banyak alat yang entah Dyba tidak tau apa namanya itu.

"Sam, Chelsea kenapa?"

Sam yang tengah berada di belakang Dyba juga menatap sendu temannya itu. "Dia sama Zian lagi marahan karena Zian ketauan ketemu sama mantannya tanpa ngasih tau Zian. Dan entah kebetulan atau apa jadi Chels liat Zian lagi di cium pipinya sama mantannya itu. Dan setelah itu Chels langsung nampar Zian terus kabur."

"Dan Chelsea paling gak bisa kalau bawa mobil dalam keadaan masih marah."

Sam mengangguk. Ia juga sering diceritakan oleh Zian terhadap perilaku tidak baik gadis yang masih tertidur pulas dengan banyak alat itu.

Dyba menggenggam tangan Chelsea yang dingin. "Chels, bangun dong. Jangan buat gue khawatir kayak gini. Sumpah lo jelek kalau kayak gini. Bangun dong, jangan tinggalin gue. Lo tau gak kenapa gue pengen banget meluk lo waktu kemarin lo jenguk gue? Itu karena gue ngerasa gak enak, gue ngerasa ada sesuatu yang bakalan terjadi sama lo dan ternyata gue tau itu apa."

Air mata Dyba merembes, ia tidak tega melihat Chelsea dengan alat bantu pernafasan, ia tidak tega melihat tangan Chelsea yang di gips, dan ia tidak tega wajah Chelsea menjadi kegores seperti itu. Chelsea sahabatnya, sahabat yang paling mengertinya. Walaupun terkadang gadis itu memang menyebabkan, tetapi Dyba tau bahwa sebenarnya sahabatnya itu sayang padanya dan sangat peduli.

Sam menghela nafas kasar, air mata wanitanya turun lagi. Ia mendorong kursi roda Dyba agar lebih dekat ke ranjang Chelsea. "Aku ke depan dulu, Zian pasti lagi ngerasa bersalah banget. Kalau kamu udah siap, langsung telfon aku."

Dyba mengangguk tanpa menatap suaminya itu. Masalah ia kehilangan calon buah hatinya saja belum hilang dari bayangan dan ingatannya, tetapi sekarang sahabatnya malah terkena musibah juga.

Sam duduk di samping Zian yang sedang menyenderkan tubuhnya di kursi depan ruangan Chelsea sambil memejamkan matanya. "Zi, kenapa lo bisa ketemu sama nenek lampir itu sih?"

"Dia katanya cuma mau minta maaf aja sama gue karena kejadian dulu. Eh gak taunya tiba-tiba dia nyium gue gitu aja. Dan entah kenapa Chelsea tiba-tiba ada di situ dan pas banget liat gue lagi di cium."

Sam menepuk-nepuk bahu Zian. "Jelasin dulu ke Chelsea nanti. Hubungan lo sama dia bahkan lebih lama daripada hubungan gue sama Dy. Dia waktu itu pasti lagi emosi aja, ya jelasnya siapa sih yang gak emosi pacarnya dicium cewek lain? Gue yakin dia bakalan percaya kalau lo bilang jujur. Secara dia sama kayak Dy kuliah psikolog, jadi lo jelasin sejujur-jujurnya pasti dia tau tau lo jujur."

Zian menatap Sam. "Lo yakin dia bakalan percaya? Yang ada di otak gue sekarang kalau misalnya Chels ngomong sama keluarganya kalau gue tadi ketemu mantan terus mantan itu nyium pipi gue gimana? Hubungan gue Sam!"

"Zi, keluarga Chels pasti paham kalau lo jelasin sejujurnya. Jangan pesimis dulu Zi sama hubungan lo."

Zian menganggukkan kepalanya. "Iya, bakalan gue coba. Do'ain gue ya supaya hubungan gue tetep lancar."

"Pasti. Lo berjuang untuk hubungan ini dan gue yakin lo pasti bisa." Sam menjeda omongannya saat ponsel yang ada di tangannya berdering. "Gue masuk dulu, Dy udah nelfon. Nanti kalau Chels udah sadar langsung lo jelasin biar gak berlanjut."

"Iya."

Sam menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu beberapa kali untuk memberinya semangat. Setelah itu Sam masuk ke ruang Chelsea lagi. Ia menghela nafas saat melihat punggung Dyba yang tengah bergetar.

DySam (After Marriage)  [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang