36 🌻🌻 Penawar Racun

Start from the beginning
                                    

“Itu bukan bahasa Jakselish, Mbak Dian. Jakselish tuh gini, selera wewangian gue udah nggak se-young dulu, like literally lebih ter-upgrade aja gitu. BBW or VS isn’t my style anymore, Chanel is very expensive so Bvlgari boleh banget lah, Tika bahkan sering ke drugstore brand yang lebih keren than me. Eh, ini bukan berarti selera Lita sama mbak Luluk not good, ya. Sometimes gue juga agak confuse sih, wangi gue yang semerbak nggak dihirup oleh kekasih hati, which is nggak guna juga beli parfum mahal kalau yang menikmati malah people like you-you yang ada di tempat ini becoz gue kan nggak ke mana-mana. Iya, nggak? Lagian nih, ya—”

“Stop!” Icha di samping Henny segera menghentikan cerocosan tidak berdasar itu. Dan sebenarnya sama sekali tidak keren, Arya pribadi justru sakit kepala mendengarnya. “Be wise, girls. Just be yourself. Kita ini semua perantau, orang kampung, nggak usah kebanyakan gaya kayak gitu.”

“Itu cuma contoh, Mbak.” Henny menyahut. “Gue juga pusing sih mikirin kosakatannya, hahaha.”

“Jadi, Luluk.” Semua mata dan telinga di sana terinterupsi oleh suara itu. Icha yang tiba-tiba menyerong kepada Luluk. “Masih suka ngirim duit buat cowok lo?”

“Njir, toxic relationship,” komentar Restu. “Cowok lo kirimin duit, Luk?” tanyanya memastikan.

“Dia butuh biaya buat S2,” ucap Luluk pelan. “Kan kalau nanti udah kelar kuliah, kerja yang bagus, nikah sama gue, hidup gue juga yang bakal sejahtera.”

“Oh, kalau ternyata dia nggak nikah sama lo gimana?” tembak Icha, pedas, tidak bermain halus. “Lo di sini kerja keras dan harus irit, nahan selera, demi biayain dia?”

“Icha, kayaknya mending ini diobrolin empat mata.” Arya melerai segera. Tidak tega melihat Luluk dengan kepala tertunduk dan merasa dipermalukan. “Luluk nanti ke ruangan saya,” ujarnya.

“Pak Arya memang bisa kasih solusi apa?” Dian menyela. “Kenaikan gaji khusus buat Luluk biar dia bisa senang-senang kayak yang lain sekaligus biayain cowoknya S2?”

“Nggak bakal jauh-jauh.” Icha berkomentar dengan tangan terlipat di depan tubuh. “Bagi pak Arya, semua hal akan selesai dengan uang,” sinisnya.

“Kita udah gantian ngomongin Luluk satu-satu, Pak. Masing-masing nyeret dia buat ngobrol empat mata, enam, mata, delapan mata, sekarang mending dikeroyok aja. Biar dia sadar kalau itu nggak bener. Bapak diem dulu, mending dukung kita aja.”

Arya mengangguk pada akhirnya, duduk bersandar dan melipat kaki di sofa. “Silakan,” ujarnya datar.

“Jadi, Mbak Luluk, lo bilang waktu itu semuanya dipicu karena kalian berhubungan jarak jauh alias LDR. Ya, nggak?” Tika melanjutkan penyerangan. “Tidak bosan-bosannya gue mengingatkan bahwa kunci yang LDR cuma satu.”

“Apa?” sahut Henny segera.

“Putus,” jawab Tika tanpa perasaan. “Apalagi ini udah LDR toxic pula. Ke laut aja udah.”

“Saran Tika sangat boleh dipertimbangkan.” Icha beringsut mendekati Luluk dan duduk di sebelahnya. “Mumpung belum lama, Luk, ayo pikir-pikir ulang.”

“Tapi kalau gue nggak kirim dia uang, dia bakal deket lagi sama mantannya, Mbak.”

“Ya ampun, Luluk!” Dian memekik kencang.

“Cowok itu? Kayak begitu disebut cowok?” Restu tak terima sesama jenisnya melakukan hal begitu rendahan, Arya juga merasakan hal yang sama. Kaumnya terhina karena oknum seperti ini. “Coba mana, Luk. Sini gue periksa barangkali burungnya made in China, kw punya.”

DINARA [Tersedia Di Gramedia] ✔Where stories live. Discover now