30

2.1K 290 18
                                    

Joshua tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Ia bosan setengah mati di kamar hotel apalagi saat melihat Vernon fokus membuat lirik lagu di laptopnya. Sehingga tanpa berpikir dua kali ia mengetuk pintu kamar Alex dan mengajak gadis itu jalan keluar hotel. Padahal ia masih tidak bisa meluruskan pikirannya tentang Alex. Memori di malam itu terus saja bermain di pikirannya setiap ia melihat gadis itu. Padahal sudah jelas kalau Alex tidak mengingat apapun.

"Old Town pasti sudah sepi. Kau yakin mau ke sana?" Tanya Alex sembari merapatkan jaket. Udara malam semakin mencekam karena kesunyian jalanan di Bern.

"Delapan menit berjalan kaki." Joshua mengangkat 8 jarinya. "Lurus saja ke arah sana. Aku yakin masih ada beberapa Bar yang buka."

"Kau yakin mau ke bar?" Alex mendelik dan Joshua tersenyum kecil. Pria itu menggelengkan kepala. "Jalan saja."

"Omong-omong, hari ini kau seperti orang lain." Ujar Joshua sambil berjalan mengikuti langkah Alex yang besar. Gadis itu terbiasa berjalan lebih cepat, apalagi dengan kesibukannya sebagai mahasiswa sekaligus pekerja di Benua Eropa. Semuanya harus serba cepat dan selalu menghargai waktu--tidak sedikit pun rela waktunya terbuang barang sedetik.

"Orang lain bagaimana?"

"Like I can see the truth of yourself, Alex." Kata Joshua hingga membuat Alex menghentikan langkah. Ia mengernyit menatap Joshua yang ikut diam, menoleh ke arahnya yang tertinggal di belakang.

"Maksudmu?"

Senyum Joshua lebar sekali. Ia mundur beberapa langkah lalu menepuk kepala Alex pelan. "Kau... terlalu keras kepada dirimu sendiri, Alex. Kau juga, turns out, sedikit tidak sabaran."

"I am." Alex menghela napas. Dia tahu itu. Tapi tidak disangkanya Joshua bisa melihat ketidaksabaran yang ada pada dirinya. Padahal kemarin, ketika ia di Lausanne, ia selalu bersikap sabar kepada pria itu.

Keduanya kembali berjalan. Alex mendongak menatap langit yang tidak begitu cerah, angin pun berhembus agak kencang apalagi posisi Kota Bern yang dihimpit pegunungan. Dingin sekali tapi Alex dan Joshua tidak merasakan itu. Keduanya fokus kepada pikiran masing-masing.

"Aku kira kau orang yang... quirky? Apalagi saat kau melihatku pertama kali. Aku sempat berpikir yang tidak-tidak."

"Aku juga quirky at the other side. To be honest, kau memang harus tetap berhati-hati padaku." Kata Alex berusaha realistis. Ia sebenarnya enggan mengakui, tapi lama-lama beban itu makin berat untuk menyembunyikan betapa ia sangat menyukai Seventeen.

Kedua alis Joshua terangkat. Ia melirik Alex yang fokus menatap trotoar di depan mereka. Gadis itu tidak tampak sedang bercanda sama sekali.

"Aku suka sekali dengan Seventeen. Aku suka sekali denganmu, sebagai idol." Ucap Alex lagi, ia tahu Joshua menatapnya jadi ia memberanikan diri menatap balik pria itu.

Sebagai idol. Joshua merasa tertohok.

"Sukanya hingga tahap apa?"

"I hid all of your TC and PC on my desk. Biasanya aku menempelnya di dinding kamar. Tapi begitu kau jadi roomate-ku, semuanya ku letakkan di dalam laci. Begitu pula beberapa poster. Kalau matamu jeli, sebenarnya kau bisa melihat beberapa album Seventeen di meja belajarku." Jelas Alex dengan jantung yang berdegup tidak keruan. Ia menghela napas panjang lalu membuang muka saat menyadari perubahan air wajah Joshua yang tidak disukainya.

"Kau... serius?"

"I am. Tapi jangan khawatir. Aku tidak melakukan hal-hal aneh kepadamu dan Vernon."

"Bahkan saat kau menciumku?"

Alex menghentikan langkah. Ia segera menoleh ke arah Joshua yang membelalakkan mata, menunggu jawaban dari pertanyaannya yang mengejutkan.

"Me...men...mencium?" Alex bertanya retoris. Kedua alisnya hampir menyatu sangking herannya mendengar pertanyaan itu.

"Kau serius?"

"Serius bagaimana? Kapan aku men... menciummu?" Alex bergetar. Ia bahkan tidak bisa menyebut kata itu dengan baik. Wajahnya berubah sangat masam.

Dengan frustasi Joshua menutup wajahnya menggunakan salah satu telapak tangan. Ia meringis kepada Alex yang sekarang menuntutnya dengan penjelasan. Ternyata benar. Alex tidak sadar telah menciumnya di malam itu. Joshua menyesal sudah bertanya, tapi ia juga penasaran setengah mati apalagi setelah mendengar penjelasan Alex tentang PC dan TC yang dikumpulkannya diam-diam.

"Apa aku benar me-menciummu? Ka-kapan?" Tanya Alex segera. Kedua matanya menatap Joshua dengan horror. Ia tidak bisa membayangkan dirinya sendiri mencium bibir pria itu.

"You did." Joshua menutup mulutnya.

"Kapan!?"

"Saat kau mabuk. Di kamarmu." Jawab Joshua lagi. Ia merasa jantungnya berdegup tidak keruan apalagi saat melihat wajah Alex yang memerah.

"Did I?"

Joshua mengangguk lagi. Alex hanya bisa menepuk dahinya keras-keras. Ia sama frustasinya dengan Joshua sampai keduanya tidak sadar telah sampai di tengah Kota Tua Bern. Kini pikiran keduanya terfokus pada malam itu meski Alex sama sekali tidak bisa mengingat kejadian naas tersebut.

"Oh God. I can't find the memory. Kalau mabuk aku memang separah itu." Ujar Alex yang tiba-tiba berjongkok. Ia luar biasa malu sampai merasa peredaran darahnya bergerak cepat. Tubuhnya memanas sampai ia bingung harus melakukan apa sekarang.

Joshua pun ikut kebingungan. Ia mencoba membuat pikirannya tenang dengan bernapas senyaman mungkin. Perlahan ia menarik tangan Alex agar gadis itu berdiri, dengan senyum yang agak dipaksakan, Joshua menepuk-nepuk bahunya. "Let's forget that. Lagipula kau memang mabuk berat saat itu."

"Aku bahkan tidak mengingat apa-apa, Josh." Kata Alex frustasi. Ia membuang muka. Sama sekali tidak bisa melihat Joshua karena ia jadi ikut membayangkan bagaimana rasanya mencium bibir pria itu.

"Makanya, kita lupakan saja."

"Wh-whatever. Tapi... aku benar-benar minta maaf." Ucap Alex gugup. Refleks ia ingin membungkukkan badan tapi dahinya malah terbentur hidung Joshua.

"Aaaa! Sorry sorry!!" Alex menangkupkan wajah Joshua begitu pria itu meringis karena benturan yang cukup kuat. "Aku mi-minta maaf." Ucapnya.

Joshua mengangguk pelan. Ia memegang kedua tangan Alex yang menangkupkan wajahnya. Ia malu sekali sampai akhirnya tertawa geli karena tingkah konyol mereka. Sedangkan di hadapannya, Alex mengernyit heran.

"Alex," Joshua memanggil. "Dahimu terbuat dari baja, ya?"

Kesal ditanya seperti itu. Alex menarik tangannya dari wajah pria itu, lalu mengelus dahinya yang memerah. "Sakit, tahu!"

"Hidungku juga sakit! Ini asetku sebagai artis, lho, Alex!"

"Ish. Maaf... aku yang salah."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Joshua Hong is My Roomate! [Complete]Where stories live. Discover now