🌵BOLOS🌵

32 8 16
                                    

Hari Selasa. Pukul 17.25.

Kerumunan orang serba hitam itu semakin berkurang menit demi menit. Kini hanya tersisa beberapa orang yang mengelilingi makam Ardiyan. Salah satunya Deive dengan masih berlinang air mata.

Mungkin karena dirinya juga sangat terpukul, Erick jadi merasa kesulitan untuk menenangkan Deive. Sebenarnya ada Ghina juga yang masih setia mengusap-usap punggung Deive guna menenangkannya. Namun nihil, semuanya tak berhasil dilakukan, mungkin karena ketiganya sama-sama dirundung kesedihan.

Aldi yang berdiri tepat di seberang Deive pun sedari tadi tak angkat bicara. Ia benar-benar seakan ikut terpuruk. Mengingat mendiang mamanya yang juga mengalami apa yang dialami oleh papa Deive.

Sejenak Erick memperhatikan Deive. Malang sekali nasib adiknya itu, harus menghadapi hal semacam ini ketika rapuh dalam suasana keluarga yang tak harmonis. Untunglah masih ada dirinya, meskipun sama-sama jatuh, ia akan sebisa mungkin membuat Deive segera melupakan kesedihannya.

Diana—sang mama, tidak datang. Persis seperti dugaan Deive sejak tadi. Entah apa alasan mamanya itu sampai tidak kemari menemani kepergian Ardiyan.

Deive memandangi batu nisan yang bertuliskan nama papanya sekali lagi. Ia mengusap-usapnya pelan, menyebut namanya dalam tangisan yang tak kunjung mereda. Betapa hancurnya Deive kali ini. Orang yang sangat ia sayangi telah pergi untuk selamanya.

Dunia seakan berhenti berputar. Kabut-kabut putih dengan cepat menyerbu pandangannya. Menghantam tubuh lemas Deive sekuat tenaga. Menghalangi pandangannya terhadap dunia luar. Deive hilang, ia tertelan kepedihan.

Erick segera menangkap tubuh Deive yang terjerembab ke belakang dengan cepat. Tak butuh waktu lama untuk gadis itu berada di gendongannya. Ia kemudan bangkit.

"Kalian pulang aja, ya. Makasih udah mau nemenin Deive," ujar Erick pada Ghina yang panik setengah mati dan Aldi dengan tatapan kosongnya.

Erick beranjak dari sana setelah mengatakan demikian. Meninggalkan Aldi serta Ghina begitu saja mengingat kondisi Deive yang lemah saat ini.

Sang mentari mulai sirna dimakan senja yang menyelimuti sebagian ibukota. Hari hampir malam.

"Ghin, pulang bareng gue," ujar Aldi sebelum akhirnya ia melangkah terlebih dahulu keluar dari area pemakaman.

🌵🌵🌵

Sesampainya di rumah, Erick langsung membawa Deive ke kamarnya. Adiknya yang masih dalam kondisi pingsan dibaringkan di atas ranjang.

Kasihan sekali Deive. Sampai tubuhnya lemas tak berdaya seperti ini. Nampaknya adiknya benar-benar larut dalam kesedihannya hingga kondisi kesehatannya terganggu.

Erick duduk di pinggir ranjang. Ia menatap wajah pucat Deive. Ia mengalihkan pandangnya ke arah nakas, menarik lacinya guna mengambil obat P3K yang ada di dalamnya.

Minyak kayu putih dioleskan dengan perlahan pada pinggiran kening, serta pada leher Deive. Ia harap dengan cara itu Deive bisa secepatnya sadar. Untuk menghangatkan tubuh Deive juga tentunya.

"Yang kuat ya, Dek," ujar Erick mengusap-usap kepala Deive.

Tak terasa air matanya kembali menetes. Bulir-bulir air mata itu mengalir begitu saja tanpa kendalinya.

Kini semuanya semakin terasa sepi. Baik dalam arti sebenarnya dan tak sebenarnya.

🌵🌵🌵

Deive menangis semalaman, Erick tahu itu. Ia dapat mengetahuinya dari isakan tangis Deive yang cukup terdengar jika dirinya berada di luar kamar.

"Didiv, bukain lah. Lo harus sekolah," seru Erick dari luar kamar, ia masih tak berhenti mengetuk-ngetuk pintunya.

Annoyed [On Going]Where stories live. Discover now