#44 - Best Friend

11 2 0
                                    

Dessy tahu betul kalau tiap ucapan adalah doa, tapi ia juga tak menyangka jika doanya bakal dikabulkan secepat ini. Belum ada dua minggu setelah pertemuan mereka di tempat kursus, tiba-tiba Wildan mengontaknya lewat Whatsapp. Dia bilang, ada hal yang penting yang harus dibicarakannya.

Ya, bodo amat soal masalah mantan gurunya itu. Sekarang yang jadi interesnya adalah dari mana Wildan mendapatkan nomornya? Untungnya, setelah diselidiki ternyata Jessi yang memberikan.

Di hadapannya kini sudah ada Wildan, yang sejak pesanan mereka datang, belum juga bersuara. Dessy mencoba sabar meski waktunya terbuang percumadengan memerhatikan dekorasi kafe, muda-mudi yang sedang pacaran di pojokan, atau waitress yang dari tadi mondar-mandir membawa pesanan. Es yang ada di minumannya bahkan sudah mulai mencair.

Karena Akhirnya, karena Wildan tidak menunjukkan tanda-tanda mau bicara, Dessy pun mengambil inisiatif. "Jadi, kenapa Kak Wildan ngajak aku ketemuan?" Di kafe mahal pula! tambahnya dalam hati. Untung saja Wildan yang membayarkan minumannya.

Wildan mendadak gugup. "Maaf kalau saya ngajak kamu di weekend begini. Saya nggak ganggu, kan?"

"Kalau ganggu, kenapa coba saya terima ajakan Kakak?" Dessy menjawab sambil menyandarkan punggungnya, lalu bersedekap. Ia menatap lurus, langsung ke mata Wildan.

Wildan menghela napas panjang. Lidahnya seakan-akan berat untuk mengucapkan sesuatu, tapi ia harus melakukannya. Ia telah bersumpah untuk melakukan ini, tak peduli apapun hasil akhirnya. "Saya mau minta bantuan kamu, boleh?" katanya sambil mengaitkan jemarinya satu sama lain.

Dessy menegakkan punggung. "Bantu apa ya, Kak?" tanyanya dengan nada menuntut.

Butuh waktu lama bagi Wildan untuk menjawab pertanyaan Dessy tadi. "Kamu bisa bantu pertemukan saya dengan Suri?"

"Nggak. Nggak bisa," tukas Dessy cepat. "Tolong ya, jangan seret saya ke masalah kalian berdua. Masalah hidup saya udah banyak, Kak. Maaf, kalau saya terkesan nggak sopan. Pembicaraan ini cukup sampai sini aja," tegasnya sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Kebetulan saya masih punya banyak PR yang harus dikerjain. Permisi."

"Tunggu!" Wildan dengan cepat meraih lengan Desy sebelum ia sempat bangkit dari duduk. "Tolong, sekali ini aja. Saya boleh cerita sesuatu ke kamu?"

"Oke." Dessy menyamankan duduknya. Tangannya terjulur untuk mengambil gelas minumannya. "Kakak yakin mau cerita sama saya? Kakak percaya sama saya?" tanyanya. Ia lalu meneguk minumannya sambil matanya mengawasi tiap ekspresi dari wajah Wildan dari balik gelas.

Jakun Wildan terlihat bergerak sebelum ia berkata, "Saya udah tahu latar belakang kamu."

Dessy membanting gelasnya kasar. "Jadi Kak Wildan mata-matain saya?"

"Bukan begitu. Tolong, jangan salah paham."

"Terus, apa?" Dessy sengaja mendengkus keras-keras guna menunjukkan pada Wildan kalau dia sedang marah. Namun, pada kenyataannya ia tidak marah sama sekali. Ia hanya ingin menguji sejauh mana keteguhan hati Wildan. Ia tahu kelukuannya ini sangat tak sopan, tapi ini semua demi Suri.

"Saya yakin kamu mengerti kondisi saya."

"Kondisi apa, ya?" pancing Dessy.

"Tentang ..." Ada jeda sejenak. "Penyakit saya." Wildan berkata dengan begitu putus asa. Dessy jadi tidak tega.

"Ya, kalau Kakak nggak keberatan bagi kisah hidup Kakak ke saya, saya siap dengerin, kok," ucap Dessy dengan senyum kecil yang menghiasi wajahnya.

Selama dua jam Wildan menceritakan bagaimana kesalahpahaman antara dirinya dan Suri bermula. Ia juga bercerita tentang bagaimana ia harus berdampingan dengan penyakit yang dideritanya sejak kecil dan hal-hal apa saja yang bisa memicu penyakitnya jadi lebih parah.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang