#24 - Tentang Makna

18 3 0
                                    

Raka baru tahu kalau ternyata dirawat di rumah sakit itu tidak enak. Padahal dulu waktu kecil ia sering memimpikan bagaimana asyiknya dilayani oleh suster-suster cantik. Tetapi sekarang boro-boro suster cantik, yang ada perawatnya malah ibu-ibu judes dengan tampang sangar. Bah, dia jadi ingin menyalahkan film-film yang sering ia tonton.

Pemuda itu pun memandang langit-langit kamarnya dengan bosan. Well, karena ponselnya hancur terlindas kemarin, dia jadi bingung mau melakukan apa. Tadinya ia ingin meminjam ponsel ibunya, tapi ternyata benda itu dibawa ibunya yang sedang mengurus berkas-berkas untuk operasinya siang ini. Giliran mau mengobrol, di kanan dan kirinya cuma ada pasien kakek-kakek yang sedang mengorok. Hasilnya dia makin mati gaya.

Raka kemudian melirik ke atas nakas di samping ranjangnya. Di sana tersedia berbagai macam buah-buahan segar hasil bawaan ibu-ibu RT yang tadi menjenguk. Aduh, jadi lapar. Eh, tapi kan tidak boleh makan dan minum sampai jam operasi tiba. Ugh ... dasar apes. Sudah badannya sakit semua, mati gaya, ditambah harus puasa pula. Perfecto combo.

Di tengah kegalauan yang melanda, pintu kamar tempatnya dirawat terbuka, menampilkan sosok Adnan beserta wali kelas, ketua kelas, dan beberapa anggota OSIS. Raka menatap bingung ketika mereka semua bergerak mengelilingi ranjang setelah bersalaman dengannya.

"Raka! Thanks God, elo masih hidup," pekik Adnan histeris. Setelah meletakkan parsel yang dibawa ke atas nakas, pemuda itu langsung memeluk Raka erat-erat. Raka yang tak siap spontan menampar muka Adnan saat tangan temannya itu tak sengaja menimpa paha kirinya.

"Bro, lo kok jahat banget, sih?" Adnan misuh-misuh sambil mengusap pipinya yang nyeri. "Gue kan ke sini mau jengukin elo. Eh, gue malah ditabok."

"Salah lo sendiri! Kaki gue lagi sakit malah ditiban!" sentak Raka sambil mendorong tubuh Adnan agar menjauh dari kakinya.

"Hei, hei, kalian ini. Ini rumah sakit. Jangan berisik. Kayak anak SD aja, sih" omel Pak Tobing. Wali kelasnya itu kemudian mendekat dan mengusap bahunya sayang. "Oh, ya, Raka. Gimana keadaan kamu? Kenapa bisa sampai begini?"

Mendengar pertanyaan Pak Tobing, Raka sontak meringis malu. "Saya jatoh pas naik motor, Pak. Ngelamun, hehe ..."

Wali kelasnya itu cuma bisa geleng-geleng kepala setelah mendengar pengakuan Raka. "Terus, kata ibu kamu, kamu bakal dioperasi? Kapan itu?"

Adnan seketika tersentak, lalu memandangi Raka kasihan. "Operasi? Operasi apaan, Bro?"

Raka mendengkus saat ia mau bicara tetapi keburu dipotong oleh Adnan. "Iya, saya nanti siang operasi pasang pen dipergelangan kaki kiri saya, Pak. Jadwal operasinya nanti jam satu siang."

"Bro, kaki lo patah? Parah banget, dong!" Adnan menganga tak percaya, sementara Raka mengangguk pasrah.

Pak Tobing pun mendesah prihatin melihat kondisi salah satu murid paling rajin di kelasnya itu, "Makanya kamu kalau naik motor jangan ngelamun. Ya sudah, Bapak doakan semoga operasi kamu lancar dan kamu cepet sehat. Oh, ya, omomg-omong orang tuamu ke mana?"

"Mama lagi nyiapin berkas buat operasi, Pak," jawab Raka. Ia kemudian memandangi Windry dan Adnan bergantian, setelah itu tiga anggota OSIS yang datang bersama mereka. "Makasih, Pak, udah mau jenguk saya. Kalian juga, guys, thanks, ya. Buat kakak-kakak OSIS, makasih juga," ucapnya terharu. Ia tak menyangka kalau dirinya ternyata bukan siswa no life yang eksistensinya tak terdeteksi di sekolah.

"Kita dari OSIS juga ingin mendoakan semoga kamu cepet pulih, Raka," kata sang ketua OSIS.

Raka makin terenyuh saat tahu satu sekolah mendoakannya. Kalau sembuh nanti, mungkin dia bakal tumpengan—itu juga kalau ibunya tidak melarang.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang