#42 - Turning Point

12 4 0
                                    

Hari ini Jun berkata kalau dia akan menginap di salah satu rumah temannya untuk mengerjakan proyek. Dessy pun punya jadwal mengajar privat dua kali hari ini. Paling tidak, jam mengajarnya selesai sekitar pukul delapan. Ia juga akan pulang dulu ke rumahnya sebentar untuk menengok ibu dan dua adiknya. Bisa jadi ia baru akan sampai ke rumah Suri jam sembilan malam.

Dessy memang sudah meminta izin ibunya untuk menginap sampai hari Sabtu. Meski sudah ada budhenya yang bakal membantu menyiapkan berbagai keperluan ibu dan dua adiknya, tetap saja Dessy kepikiran. Oh, sebelumnya Dessy pun sudah memberi usul. Dari pada Suri harus menunggu sendirian di rumah, lebih Suri ikut dirinya mengajar lalu disambung dengan bermain sebentar ke rumahnya. Sayangnya, Suri menolak.

Suri menghela napas panjang. Ia harus memanfaatkan waktu yang ia miliki sebelum kepulangan Dessy. Ketika bel pulang berbunyi, Dessy dan Suri berpisah di persimpangan jalan. Suri tentu pamit kepadanya dengan dalih pulang ke rumah. Namun nyatanya tidak. Suri tidak pulang. Dengan menggunakan ojek online Suri pergi menuju ke rumah sakit tempat Sinta dirawat.

Begitu sampai, dada Suri bergemuruh hebat. Kakinya begitu berat untuk melangkah. Ada suara yang muncul dari dasar hatinya yang memerintahkannya untuk pergi. Berkali-kali dirinya merapalkan mantra kalau ia bukan pengecut. Bukan pula orang yang suka lari dari masalah. Ia membulatkan tekad. Ia harus menyelesaikan kesalahpahaman ini sekarang atau tidak sama sekali.

Suri terdiam di depan pintu kamar rawat Sinta. Sebelah tangannya terangkat dengan gemetar. Ia mengetuk pintu itu tiga kali. Terdengar suara perempuan dari dalam. Tak lama, pintu itu terbuka, menampakkan seorang wanita setengah baya.

"Ya," kata wanita itu.

"Saya mau ketemu Kak Sinta. Boleh Tante?"

Wanita itu kemudian menyilakan Suri masuk.

Di dalam sana, Sinta tengah duduk menyila di atas ranjang pasien. Di pangkuannya terdapat sebuah laptop yang menyala. Untuk sesaat, Sinta membeku setelah melihat sosok Suri yang tengah berdiri di hadapannya.

"Su-Suri?" ucapnya tergagap.

"Suri?" sang bibi menoleh dan tiba-tiba menunjukkan ekspresi tak suka. Apakah anak itu adalah Suri yang diceritakan Adnan? Baru saja ia ingin mengusirnya, Suri tiba-tiba buka suara.

"Aku datang ke sini buat minta maaf." Suri mendekat, lalu meraih tangan Sinta. "Aku nggak tahu harus berbuat apa. Tapi sungguh, aku mau minta maaf karena udah jahat ke Kakak."

Sinta memandang Suri dalam diam.

"Aku ngelakuin semua itu karena aku sayang sama Raka—bukan, bukan sayang yang kayak Kakak pikirin." Suri buru-buru meralat ucapannya saat melihat ekspresi Sinta berubah keruh. "Aku dan Raka itu saudara, Kak. Saudara sepersusuan lebih tepatnya. Aku udah nganggep dia seperti adik sendiri, meski ultah kita cuma beda dua bulan. Jadi, pas aku tahu Kakak mutusin Raka gitu aja, aku bener-bener nggak bisa terima itu. Aku mikir aku harus kasih pelajaran ke Kakak."

Sinta menundukkan pandangannya. "Maaf," ucapnya lirih.

"Satu hal yang harus Kakak tahu. Setelah putus, Kakak harus tahu gimana hancurnya dia."

"Maaf. Maaf" Isakan Sinta samar terdengar. Perasaan bersalah yang ia coba pendam tumpah ruah.

Suri menggeleng sambil memeluk Sinta. "Jangan minta maaf, Kak," ucapnya dengan suara bergetar. Matanya sudah mulai tergenang air, tapi sekuat tenaga ia tahan. "Kakak nggak salah. Kakak cuma nggak mau ngerasain sakit. Aku ngerti, Kak. Aku ngerti."

Mungkin cara tiap orang untuk menghindari kesakitan berbeda-beda, tapi ia pernah di posisi itu hingga ia tahu betul rasanya; bagaimana sakitnya terkungkung dalam gejolak emosi, ego, dan ketakutan yang bersumber dari dalam diri.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang