#37 - The Chaos

14 3 0
                                    

Sampai keesokan harinya mood Suri belum membaik karena Raka sama sekali belum meminta maaf. Boro-boro secara langsung, lewat chat saja tidak. Karena sudah kadung jengkel setengah mati Suri pun memutuskan untuk meminta diantar Jun. Setibanya di sekolah pun ia malas menyambangi kelas Raka. Ia lebih memilih berjalan lurus menuju kelasnya dan duduk di kursi tanpa berbasa-basi pada Dessy seperti yang sering ia lakukan.

"Heh, pagi-pagi kenapa muka ditekuk begitu. Jelek tahu!" Dessy mencoba melucu, tapi sayangnya Suri tak menunjukkan reaksi apapun. "Lo kenapa sih, Sur? Dateng-dateng mukanya udah asem begitu. Bikin pagi gue suram aja."

"Gara-gara Raka."

Dessy menguap bosan. "Kali ini dia kenapa lagi?"

"Kemarin dia marah sama gue," jawab Suri sambil membuka kasar ritsleting tasnya, lalu membanting bukunya ke meja dengan sengaja.

"Eh, kok jadi lo yang ngegas?!" seru Dessya tak terima karena akibat bantingan buku Suri, pulpennya menggelinding jatuh. "Yang marah kan Raka. Lo kali bikin salah sama dia?"

Suri menyandarkan punggungnya, lalu mengembuskan napas berat. "Nggak tahu," bisiknya hampir tak terdengar. Sejujurnya dari semalam ia sudah memikirkan hal ini. Raka tidak salah. Ia berhak marah. Ia hanya tak suka dengan sikap Raka yang selalu mengistimewakan Sinta. Sudah tahu Sinta itu tidak baik karena telah mencampakannya dengan alasan yang tidak jelas. Kenapa Raka masih terus membelanya, sih?

Melihat gelagat Suri, Dessy sudah bisa menerka, paling tidak jauh-jauh dari masalah Sinta. Ia pun turut menyandarkan punggungnya, lalu melirik Suri sebentar sebelum fokus kembali pada buku yang tadi sempat dibacanya.

"Lo baca buku apa?" tanya Suri sambil mengintip tulisan yang tercetak di buku yang dibaca Dessy.

Dessy tak menjawab. Ia malah menunjukkan sampul depan buku itu di depan mukanya.

Suri langsung terbahak-bahak setelah membaca judul buku tersebut.

"What the hell—Dessy! Cara cepat jadi kaya? Yang bener aja?" Suri masih terus melanjutkan tawanya. Sekarang bahkan sampai terbungkuk-bungkuk karena perutnya keram.

Dessy mengangkat bahu. "Kalau ada short cut-nya kenapa pilih cara yang susah?"

"Apaan, sih?" Suri megap-megap. "Cara ngepet berarti juga ada dong di buku itu?"

"Bisa jadi ada. Gue belum kelar bacanya, sih—gara-gara diganggu sama lo tadi."

"Heh, kok jadi salah gue?!" seru Suri tak terima.

"Ya, salah sendiri pagi-pagi udah nyebar emosi negatif."

Suri mencebik sambil menggerutu panjang lebar, tapi tak lama, secara ajaib, mood-nya membaik. "Oh ya, hari ini sampai seminggu ke depan ibu gue pulang kampung jenguk nenek dan kakek gue. Lo mau nggak nginep di rumah gue? Temenin gitu. Mas Jun mulai besok udah dapet proyek baru. Pastinya dia sibuk banget. Apalagi kalau ketemu klien, bisa pulang pagi dia."

Dessy tampak berpikir. Sengaja berlama-lama.

"Nanti lo gue temenin deh pas berangkat ke tempat les," bujuk Suri.

"Gimana ya," ujar Dessy dengan nada diayun.

"Ayoo, dong. Nanti gue traktir sampai perut lo meledak, deh," ucap Suri sambil menoel-noel lengan teman semejanya itu.

Mendengar bujukan Suri yang ngaco begitu Dessy pun tertawa keras. "Nggak usah pakai meledak juga, sih. Iya, gue nginep di rumah lo. Tapi besok aja, ya. Soalnya hari ini gue ada janji anterin salah satu murid les gue ke tempat kursus bahasa Inggris-nya."

"Kok jadi lo yang nganterin? Emang sekarang lo merangkap jadi tukang anter-jemput gitu?"

Dessy tertawa. "Ya, nggak lah. Ibunya titip ke gue soalnya dia mau ke kondangan. Supirnya cuti, jadi nggak ada yang anter-jemput anaknya. Dia nggak percaya kalau pakai ojol. Duitnya juga lumayan tahu!"

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang