#28 - Benang Merah

11 4 0
                                    

Hari ini jadwalnya Indra kembali ke Surabaya. Sejujurnya ia ingin sekali memperpanjang masa cuti, tapi ada daya, ia hanya diberikan izin sampai hari Jumat. Makanya, hari ini ia memutuskan untuk pulang agar besok ia bisa beristirahat. "Ayu, hati-hati dan jaga diri baik-baik," ucapnya sambil mengelus kepala Sinta. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya kepada sang ibu. "Mami, kalau ada apa-apa di sini, langsung kabarin Indra, ya."

"Iya, Ndra. Kamu tenang aja. Kami berdua bakal baik-baik aja di sini, kok," jawab sang ibu. "Udah, kamu fokus aja kerja di sana biar bisa cepet-cepet balik ke Jakarta.

Sinta tersenyum kecil. "Iya, Mas. Betul kata mami, kita bakal baik-baik aja. Maaf kita nggak bisa anterin Mas sampai bandara," ujarnya meyakinkan. Bukan kepada Indra, melainkan kepada dirinya sendiri.

Indra memandang adik sepupunya lekat-lekat, lalu mendekapnya erat. "Nggak apa-apa, kok, Tapi ... kamu beneran janji sama Mas, ya. Jaga diri baik-baik," bisiknya dengan rasa khawatir yang kentara. Sinta pun membalasnya dengan tepukan di punggung lelaki itu.

"Ndra, kereta kamu sebentar lagi berangkat, tuh!" Sang ibu mengingatkan ketika terdengar pengumuman dari pengeras suara.

Indra pun dnegan segera melepaskan pelukannya. Untuk yang terakhir kali lelaki itu mengucapkan kata pamit kepada dua wanita yang disayanginya sebelum melangkah menuju gerbong yang berada di paling ujung rangkaian kereta.

Tak lama, kereta yang membawa Indra menuju bandara pun berjalan, meninggalkan Sinta dengan perasaan resah yang menggelayuti hati. Akankah yang ia baik-baik saja seperti yang diyakini tadi? Semoga saja iya. Ia sudah terlalu banyak menyusahkan mami dan Indra. Ia tak boleh terus-terusan seperti ini. Sudah saatnya ia membebaskan diri dari monster itu.

Sinta menghela napas dalam-dalam. Ia sudah memantapkan hati untuk mulai belajar menerima masa lalunya yang kelam. Ia bertekad untuk menata kembali kehidupannya yang berantakan dan juga memperbaiki hubungannya dengan Raka.

"Ayu," panggil sang bibi sambil menepuk pelan pudaknya. "Yuk, pulang. Jam sembilan nanti Rina dateng, kan? Ngomong-ngomong hari ini kalian mau ke mana?"

"Ke perpustakan aja, kok, Mi. kita mau cari bahan buat tugas seni budaya."

"Terus, pulang jam berapa?"

Sinta tampak berpikir. "Sore, mungkin. Kenapa memangnya, Mi?"

"Nggak apa-apa, sih. Mami kira sampai malam. Kalau sampai malam mami kan nggak perlu masak buat kamu juga." Sang bibi menyengir sambil menjawil hidung Sinta.

Senyum kecil Sinta terkembang. "Nggak, kok, Mi. Kita pasti nggak sampai malam."

.

.

.

"Jadi, kapan lo bisa masuk sekolah?" tanya Suri sembari memangku dagu. Film animasi yang sedang diputar di laptop Raka sudah tak menarik lagi baginya.

"Kata dokter, gue seminggu pemulihan dulu. Tapi setelah itu gue masuk sekolah juga cuma tiga hari seminggu," jawab Raka tanpa menoleh sebab ia sibuk dengan ponsel Suri sekarang.

"Buat terapi, ya?" Suri bertanya lagi.

Raka mengangguk.

"Ya, udah. Kalo lo udah mau masuk, kabar-kabarin gue aja."

Raka menyipit curiga. "Mau ngapain?" detik berikutnya wajah pemuda itu mengerut jijik ketika Suri memasang senyum lebar-lebar. "Gue tahu yang ada di pikiran lo sekarang. Kalo lo mau bareng gue, jawabannya adalah enggak. Titik."

"Ih, jahat!" Suri menekuk bibir bawahnya main-main. "Gue kan baik mau nolongin lo. Soalnya, nanti siapa coba yang bantuin lo jalan dari gerbang ke kelas?" ujarnya sambil memukul manja bahu Raka.

Raka berdecih jengkel. "Nolongin apaan, yang ada nanti lo juga ninggalin gue."

Suri terbahak sampai matanya hilang ditelan pipinya yang bulat. "Ya ... tadinya gue emang berencana begitu, sih—tapi, gue janji nggak bakal ninggalin lo, kok!"

Raka mengutuk kesal. Huh, awas saja. Kalau dirinya sembuh, ia berjanji akan balas dendam sampai membuat gadis itu menangis.

Kemudian, keheningan mendadak menyelimuti mereka. Suri yang sudah bosan menonton pun iseng membuka akun Facebooknya lewat laptop Raka. Sementara itu si empunya laptop lebih memilih memainkan media sosial menggunakan ponsel Suri. Sebab, ia masih belum dibelikan ponsel yang baru oleh ibunya. Bertukar barang seperti ini merupakan hal biasa bagi keduanya. Bahkan, kalau sifat jahil mereka sedang kumat, mereka bisa sampai membajak akun media sosial satu sama lain.

"Eh, omong-omong, gue dapet kabar dari Adnan kalau Kak Wildan nggak masuk ngajar kemarin dan pulang gitu aja pas jadi guru piket. Emang bener, ya?" cetus Raka sambil masih terus menggulirkan linimasa Twitternya.

Mendengar nama Wildan, Suri sontak melemparkan tatapan benci pada Raka. "Bodo amat. Mau dia masuk atau enggak gue nggak bakal peduli. Bahkan kalo dia mati pun gue nggak bakal sedih."

Raka memandang Suri lekat-lekat selama beberapa saat. "Jangan begitu, nanti lo nyesel," katanya sambil melirik untuk melihat ekspresi apa yang Suri keluarkan.

Tak suka, Suri tiba-tiba saja menggebrak meja tamu. Wajahnya terlihat memerah akibat menahan kesal. "Habisnya lo duluan, sih! Udah, ah. Jangan pernah bahas orang itu lagi di depan gue."

Raka menggigit bibir. Sedikit perasaan bersalah muncul di dada. "Iyaaa, sorry, deh."

Dan, sisa sore itu mereka habiskan dalam kebisuan. Mereka seakan-akan tenggelam dalam dunianya sendiri, meski jarak antara keduanya hanyalah tiga meter saja. Gara-gara Raka menyinggung soal Wildan, entah kenapa Suri jadi malas melakukan apapun. Padahal tadi siang dia sudah berencana mengajak Raka bermain game sampai malam. Sebab, besok ia harus mengikuti latihan karate sampai sore jadinya ia tak akan punya waktu untuk menemani Raka. Ya, meskipun di sana ia mungkin hanya melakukan pemanasan saja, secara ia juga baru sembuh dari keseleo

Raka pun sama pasifnya seperti halnya Suri. Hanya karena tak ingin membuat mood Suri jadi lebih buruk, ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca buku lewat aplikasi di ponsel gadis itu.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang