#10 - Tanpa Bisa Dibendung

20 6 0
                                    

Pagi ini Raka merasa nyawanya hilang setengah. Yeah, game online dan pertandingan bola bukan kombinasi yang bagus, apalagi tadi malam ia juga mengalami mimpi dikejar sepasukan kecoa terbang. Alhasil dia baru bisa tidur jam tiga pagi.

Ketika sampai di meja makan, di sana cuma terdapat papanya yang telah selesai sarapan. "Lho, mama mana, Pa?" tanyanya sambil mendudukan dirinya di kursi makan.

"Ke warung sebentar," jawab sang ayah sambil menyambar tas kerjanya yang tergeletak di meja.

"Oh, oke." Raka kemudian mendudukan dirinya di salah satu kursi makan. Fokusnya terbelah ketika matanya menangkap sebuah amplop warna putih yang tergeletak tak jauh dari piringnya. "Ini apa, Pa?" tanyanya kemudian.

"Oh, itu surat sakitnya Suri. Nanti kamu bawa ke sekolah dan kasih ke ketua kelasnya, ya."

"Suri? Tumben amat. Kenapa dia, Pa?" tanya Raka sambil menyendok nasi.

Sang ayah mengangkat bahu. "Tadi sih yang papa dengar Suri sempat demam kemarin malam."

Raka mengangkat alisnya. "Kenapa? Perasaan kemarin baik-baik aja."

"Nggak tahu. Sudah, ah. Papa mau berangkat dulu. Takut telat. Oh, bilangin mama juga kalau pesanan dia udah selesai."

"Pesanan?"

Sang ayah mencebik sambil melirik susunan piring bersih di atas rak kecil yang berada di sebelah bak cuci piring. Raka spontan menyemburkan tawa. Ibunya memang luar biasa karena bisa membuat lelaki macho macam ayahnya mau melakukan pekerjaan rumah tangga.

"Sip!" Raka mengacungkan jempol.

"Raka, papa pergi dulu, ya! Assalamualaikum," teriak ayahnya dari teras.

"Wa'alaikumsalam. Biar nanti Raka yang tutup pintunya, Pa!"

"Oke," sahut ayahnya. Kemudian, terdengar suara pintu pagar digeser yang disusul dengan deru mesin mobil yang makin lama makin menjauh.

Setelah kepergian sang ayah, Raka buru-buru menyelesaikan sarapannya. Secepat kilat ia mencuci piring, kemudian menuliskan sebuah notes untuk ibunya, lalu menempelkan notes itu di pintu kulkas.

.

.

.

"Raka! Suri beneran sakit?"

Raka menggeram tak suka setelah tas ranselnya ditarik oleh Dessy. Huh, padahal baru saja sampai di depan kelas, tapi sudah ada yang mengganggu. "Tahu dari mana lo?" tanyanya jutek.

"Dari kakaknya Suri," ucap Dessy tidak sabar. "Jadi, Suri beneran sakit? Sakit apa dia? Apa jangan-jangan dari tangannya?"

"Mana gue tahu! Gue cuma bawa surat dokternya doang. Belum gue baca," ucap Raka sambil membuka tas ranselnya untuk mengambil surat yang dimaksud, lalu menyerahkan surat itu pada Dessy. "Karena kebetulan elo nyamperin gue. Nih, gue titip aja surat ini sama lo."

Dessy mengambil surat itu dengan dahi berkerut. Ia tampak tengah memikirkan sesuatu. "Raka," panggilnya kemudian.

"Apaan?"

"Pulang sekolah nanti, lo jangan pulang dulu."

Sekarang gantian Raka yang mengerutkan dahi. "Kenapa emangnya?"

"Gue mau titip catatan pelajaran hari ini buat Suri."

"Oke," balas Raka tanpa perlu berpikir dua kali. Toh, hari ini dia juga tidak akan langsung pulang karena ada satu urusan yang harus ia selesaikan. "Betewe, lo kok mau-mau aja sih diperbudak sama Suri?"

Dessy tertawa kecil. "Gue nggak ngerasa diperbudak, kok. Gue cuma mau balas budi sama Suri karena dia dan keluarganya udah banyak nolongin gue."

Dahi Raka mengerut karena penasaran. Namun, karena ia merasa kalauhal ini mungkin menyangkut masalah pribadi Dessy, akhirnya ia mengurungkan niat untuk bertanya lebih jauh.

"Thanks, ya, Ka," ucap Dessy lagi sambil berlalu menuju kelasnya sendiri.

.

.

.

Mata pelajaran pertama hari ini adalah bahasa Inggris dan itu adalah salah satu mata pelajaran yang Suri sukai. Dessy menimbang-nimbang sebentar, apakah dia hanya perlu membuat catatan, atau sekalian merekam ketika guru baru itu mengajar di kelas? Setelah beberapa saat, akhirnya ia memilih opsi kedua. Ya, hitung-hitung sebagai koleksi pribadi mengingat guru bahasa Inggris yang baru itu super duper ganteng!

"Guys, guru barunya dateng!" seru salah seorang siswi yang tadi sempat mengintip lewat jendela.

Dessy seketika mengangkat kepala, lalu menyimpan kembali ponselnya di atas meja. Kelas mendadak ricuh. Ia pun terkekeh ketika menetahui sumber polusi suara itu didominasi oleh teman-teman perempuannya.

Pintu kelas kemudian terbuka. Sosok Wildan yang dibalut kemeja garis-garis biru muda serta celana kain hitam sukses mencuri perhatian seluruh penghuni kelas.

"Good morning," sapa Wildan dengan senyum menghiasi wajah.

"Aduh, itu lesung pipinya."

Dessy nyaris menyemburkan tawa ketika mendengar celetukan salah satu temannya yang duduk persis di belakangnya.

"Perkenalkan, saya guru baru di sini. Nama saya Wildan dan saya akan menggantikan Bu Indri untuk mengajar bahasa Inggris. Jadi, mohon kerjasamanya."

Koor dari teman-teman perempuannya sontak memenuhi kelas. Dessy terkikik geli saat melihat muka-muka iri para murid lelaki. Biasa, mereka kalah ganteng.

Wildan mengangguk-angguk puas atas jawaban yang diterimanya. "Sekarang, karena saya ingin mengenal kalian, saya ingin mengabsen kalian satu per satu. Yang namanya dipanggil, dimohon untuk mengangkat tangan, ya."

Wildan mulai memanggil memanggil nama anak-anak berurutan. Akan tetapi, ketika ia sampai pada sebuah nama, seketika senyum di wajah hilang. Sadar kalau sikapnya ini bakal menimbulkan persepsi aneh, ia pun pura-pura berdeham dan sebisa mungkin mengembalikan ekspresinya seperti semula.

"Suri Gayatri," panggilnya dengan senyum dipaksa.

"Sakit, Pak!" sang ketua kelas menjawab.

Wildan melirik siswi berhijab yang duduk di deretan terdepan pada barisan meja kedua dari pintu. "Sakit?"

Siswi itu bangkit dari duduk, lalu berjalan menuju meja guru. Dari sana ia mengambil sebuah amplop putih dan langsung menyerahkan benda itu pada Wildan. "Ini surat sakitnya, Pak."

"Thank you." Wildan membuka amplop itu dan membaca isinya. Tanpa disadari olehnya, genggamanya pada kertas itu menguat hingga sebagian kertas itu mengerut.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang