#27 - I'm sorry, but I hate you

21 3 0
                                    

Sinta memandangi rumah bercat biru itu dengan gugup. Gara-gara ia sempat tersasar mencari kios buah segar dekat sekolah, alhasil dia baru bisa sampai rumah Raka sekitar jam lima. Dalam hati ia berdoa semoga kedatangannya sesore ini tidak mengganggu. Dengan tangan gemetar ia pun menekan bel rumah Raka.

Selama beberapa saat gadis itu menunggu. Karena tak kunjung dibukakan pintu, ia pun memencet bel sekali lagi.

"Gue aja yang buka! Lo tunggu aja di sini!"

Sinta tersentak saat suara nyaring menyapa telinga. Dari balik pagar rumah, sesosok gadis mungil berlari ke arahnya. Sinta mengenali sosok itu sebagai Suri, salah satu adik kelasnya sekaligus teman dekat Raka.

"Siapa, ya?" tanya Suri sambil mendorong pintu pagar yang lumayan berat. Raut wajahnya seketika berubah saat tahu siapa yang datang berkunjung. "Mau ngapain?" katanya ketus.

Sinta sontak menurunkan masker hijau yang menutupi mulut dan hidungnya. "Aku ... ke sini mau jenguk Raka," ungkapnya ragu-ragu.

"Nggak bisa. Kata ibunya Raka dia harus tidur soalnya dia habis minum obat." Suri berniat untuk menutup pintu gerbang, tetapi dengan cepat Sinta menahannya.

"Se-sebentar aja, memangnya nggak bisa?" pintanya dengan memelas.

Suri sengaja mendengkus keras-keras. "Tadi kan aku udah bilang nggak bisa, ya, nggak bisa. Mending Kakak dateng lain kali aja, deh. Nanti aku diomelin sama mamanya Raka karena nggak bisa jagain dia."

Sinta terdiam. Entah mengapa setelah mendengar perkataan Suri tadi sebagian hatinya terasa seperti dicubit. "Ah, ya udah ... be-begini aja," katanya sambil memaksakan senyum. Ia pun dengan cepat menyerahkan keranjang buah yang dibawanya kepada Suri. "Aku boleh titip ini, kan?"

Suri memandangi keranjang di tangannya dan Sinta bergantian sebelum menghela napas panjang. "Ya, boleh."

"Terima kasih," ucap Sinta lega. "Ka-kalau boleh, aku ingin titip surat ini juga buat Raka." Ia pun segera menyerahkan sepucuk amplop berwarna biru ke tangan Suri. "Aku minta tolong banget ke kamu untuk kasih surat ini ke Raka. Bisa, kan?"

Suri menggerung malas.

"Terima kasih banyak." Meski sulit, Sinta berusaha menarik lagi seulas senyum kecilnya.

"Ya udah, aku masuk dulu, ya." Suri segera menutup pintu pagar, meninggalkan Sinta di luar sendirian.

Di luar pagar Sinta berdiri mematung sambil meremat seragamnya di bagian dada. Gemuruh di dadanya membuatnya sesak. Sudah sedekat apa hubungan Raka dan Suri? Rasanya ia ingin berteriak lantang dan memberitahukan bahwa Raka adalah kekasihnya. Tidak ada gadis yang boleh mendekati Raka selain dirinya!

Air mata perlahan menetes. Ya, dia memang egois karena ingin memonopoli Raka sendirian. Namun, ia sadar dirinya bahkan tak pantas disebut sebagai kekasih. Di mana dia ketika Raka membutuhkannya?

Ya, Tuhan, kenapa rasanya sakit sekali? Apakah ini karma untuknya atas sikapnya terhadap Raka waktu itu? Sambil mengusap kasar matanya Sinta pun melangkah pergi sambil membawa kepingan hatinya yang terluka.

.

.

.

"Buka pintu doang lama banget," keluh Raka sambil menggonta-ganti channel televisi dengan tampang ditekuk. "Omong-omong, tadi siapa?" Berhubung saat ini ia tidak bisa naik-turun tangga, kamar yang seharusnya milik orang tuanya sekarang berubah fungsi sebagai kamarnya untuk sementara waktu. Di kamar itu juga telah disediakan televisi untuknya. Agar tidak bosan, kata ayahnya.

"Biasa, pengamen," jawab Suri asal. Dengan kesal ia meletakkan keranjang buah pemberian Sinta di meja rias ibunya yang beralih fungsi menjadi tempat penyimpan obat-obatan Raka.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang