#38 - Garis Batas

14 4 0
                                    

Setelah mendapat beberapa pukulan dari Indra, Raka jelas tidak baik-baik saja. Ia langsung dilarikan ke UGD. Adnan yang mengikuti dari belakang bisa melihat kesakitan tergambar jelas di wajahnya. Hanya saja, Raka itu orangnya sok kuat—ini sebenarnya yang paling dibenci Adnan. Bukannya merintih—atau minimal mengaduh, tetapi ia malah berusaha menenangkan dirinya yang dilanda panik.

Usai mengantar Raka ke UGD, dirinya lantas bergegas menuju ruang sekuriti. Di dalam sana sudah ada bibinya Sinta, Rina, dan juga Indra. Mereka semua duduk dengan tegang dan sunyi. Huh, membuatnya sulit bernapas saja.

Ketika ibunya Raka datang, bibinya Sinta sontak berdiri dan menghambur ke arahnya sambil mengucapkan beribu permohonan maaf.

Indra yang mendengar itu pun menunjukkan reaksi tak setuju dan menarik ibunya menjauh. "Ngapain Mami minta maaf sama dia?"

Ibunya tak menggubris. Wanita masih terus melontarkan permohonan maaf sampai Mama Dian pusing sendiri.

"Bu, mohon maaf sebelumnya." Mama Dian melepaskan genggaman tangan wanita di hadapannya. "Bisa dijelaskan duduk perkara terjadi di sini? Terus kenapa sama anak saya tiba-tiba dihajar begitu?" tanyanya pada kepala sekuriti. Nada suara dan ekspresinyaa tenang, tapi Adnan tahu beliau bisa saja meledak jika tak mendapatkan jawaban yang jelas.

Sang ibu sudah ingin berbicara lagi, tapi Indra dengan cepat menyela.

"Ya, saya yang sudah menghajar anak Anda. Tapi perlu Anda tahu kalau anak Anda memang patut mendapatkan pelajaran."

"Indra!" teriak ibunya kaget. Ia sungguh tak menyangka anaknya akan berbuat sekurang ajar itu.

"Saya mohon ibu-ibu semua tenang dulu." Kepala sekuriti berusaha sebisanya untuk mencairkan suasana, tapi usahanya sia-sia.

"Layak mendapatkannya?" Mama Dian meradang. "Hei, dengar ya. Saya bisa mengambil jalur hukum, lho. Saya bisa nuntut kamu dengan pasal penganiayaan!" serunya sembari menunjuk-nujuk Indra dengan geram.

"Nggak. Nggak begitu," potong bibinya Sinta. "Saya mohon, tolong jangan bawa kasus ini ke polisi."

"Kenapa nggak boleh?!" Emosi Mama Dian sudah sampai ubun-ubun. Wajah dan matanya mulai memerah menahan marah. "Anak saya babak belur begitu saya mesti diam aja, begitu?!"

"Silakan!" tantang Indra. "Silakan Anda bawa ini ke jalur polisi."

"Indra!" Hardikan ibunya melengking, diikuti dengan tamparan pedas yang mendarat di wajah anaknya. "Ke mana sopan santun kamu?"

"Indra udah nggak peduli sopan santun, Mi! Mami udah lupa, gara-gara anaknya itu Ayu hampir mati!"

"Hah? Apa?" Mama Dian terkejut, begitu pula dengan semua orang yang ada di ruangan itu. Mendadak tensi di ruangan itu meningkat tajam.

Ketika kepala sekuriti hendak mendamaikan kedua belah pihak yang berseteru, tiba-tiba saja telepon di ruangan itu berdering. Sang kepala sekuriti kemudian mengangkat dan memberitahukan bahwa Raka sudah dipindahkan ke ruang rawat inap pasca operasi guna membenarkan pen yang bergeser di pergelangan kakinya.

Begitu Mama Dian mendengar operasi Raka relah selesai, senyum lega terbit di wajah. Akan tetapi, senyum itu seketika menghilang. "Ingat, ya. Urusan kita masih belum selesai," ujarnya pada Indra sebelum bergegas pergi menuju tempat Raka dirawat. Rina dan Adnan pun berinisiatif mengikuti.

Awalnya, sang ibu ingin mengikuti juga, tapi Indra berhasil mencegahnya. "Mami nggak usah pergi."

Ibunya menyentak tangan Indra dengan amarah yang membuncah. "Indra, Mami masih nggak ngerti sama jalan pikiranmu. Apa-apaan sama sikap kurang ajarmu tadi?!" Air matanya mengalir deras tanpa diminta. Pijakannya mendadak melemah. Beruntung, Indra segera menangkap sebelum dirinya terjatuh. Hatinya sungguh remuk. Kejadian yang terjadi hari ini benar-benar menguras seluruh energinya.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang