#30 - Masa Lalu

15 4 0
                                    

Kedatangan Rina hari ini benar-benar di luar ekspektasi Sinta. Ia pikir Rina akan diantar oleh supir pribadi atau angkutan online seperti biasa, tapi nyatanya gadis itu malah datang dengan mobil yang ia kendarai sendiri.

"Kamu ke sini nyetir sendiri? Kamu keren banget," ucap Sinta penuh kekaguman.

Dipuji seperti itu oleh seorang gadis yang nyaris sempurna seperti Sinta, membuat Rina salah tingkah. "Ah, biasa aja, kok. Papa udah kasih izin karena gue udah lulus ujian mengemudi. Kalau belum sih mana mungkin dia ngasih gue nyetir sendirian. Hehe ..."

Sinta tersenyum kecil. "Aku lupa kalau kamu udah punya SIM."

"Ah, biasa aja. Ayo naik, keburu siang sampai ke perpustakaannya. Oh, omong-omong, kita mampir sebentar ke kontrakan tante gue, ya. Soalnya gue mau kasih titipan dari mama. Tenang, jaraknya nggak begitu jauh, kok."

Sinta mengangguk. "Iya, nggak apa-apa. Kalau gitu kita pamit dulu sama mami di dalam."

"Yuk." Rina pun mengangguk setuju sambil mengamit lengan Sinta.

.

.

.

Tepat tiga puluh menit mereka berkendara, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah susun yang berada di bilangan Kemayoran.

"Sudah sampai, lo mau nunggu di sini atau—" Rina tak jadi melanjutkan ucapannya saat ia mendapati wajah Sinta yang memucat. "Sin, lo kenapa?" tanyanya panik sambil menggenggam erat tangan Sinta yang bergetar hebat. Bukan hanya itu, tangannya juga terasa dingin sekali seakan-akan Rina sedang menyentuh biang es.

Tiba-tiba saja Sinta kesulitan bernapas. Rina yang melihat itu dengan sigap melepaskan sabuk pengaman yang melingkari tubuh Sinta lalu melepaskan dua kancing teratas kemeja yang dipakai gadis itu. Usai mematikan mesin mobil, ia dengan segera membuka pintu penumpang dan menurunkan sedikit sandaran kursi yang diduduki Sinta.

"Sin, lo denger gue?" tanya Rina sambil menepuk-nepuk pipi Sinta.

Sinta berusaha memfokuskan penglihatannya dan mengangguk samar.

"Oke, sekarang tarik napas dalam-dalam. Ya, begitu. Tahan sebentar ... terus keluarkan." Rina membimbing Sinta dengan sabar sampai gadis itu mampu mengembalikan irama pernapasannya kembali.

Sepuluh menit berlalu, perlahan keadaan Sinta pun membaik.

"Udah merasa plong?" tanya Rina sambil memeriksa denyut nadi Sinta. "Kalau belum, kita ke klinik aja."

"Jangan," cegah Sinta. "Aku udah nggak apa-apa. Ta-tadi asam lambungku tiba-tiba naik."

"Asam lambung? Sebentar, kayaknya papa nyimpen obat buat asam lambungnya, deh." Rina segera meruyak kotak P3K yang selalu disediakan ayahnya. Setelah menemukan obat yang dicari, ia kemudian memberikannya kepada Sinta bersama dengan air minum yang ia bawa. "Kalau lo masih sakit, lo di sini aja dulu, ya, biar gue yang masuk. Gue nggak lama, kok. Ya ... paling sepuluh sampai lima belas menit lah, soalnya kontrakan tante gue ada di lantai dua."

"Nggak perlu." Sinta menggeleng sambil mengepalkan tangan kuat-kuat, seakan-akan ia tengah berperang melawan sesuatu yang membelenggu.

"Sinta," panggil Rina khawatir. Pasalnya wajah Sinta kini terlihat campuran antara takut dan juga cemas. "Gue nggak maksa, kok. Lo bisa tinggal di sini atau duduk di taman sebelah sana," lanjut Rina sambil menunjuk taman yang kini dipenuhi anak-anak bermain.

Sinta menghela napas dalam-dalam dengan mata terpejam erat. "Nggak. Aku ikut kamu aja," katanya dengan suara bergetar. Sorot mata kini seolah-olah mengatakan bahwa ia mampu melepaskan sesuatu yang selama ini menyiksanya.

Rina tak langsung menyetujui ucapan temannya itu. Selama beberapa saat ia berpikir dan baru memutuskan sepuluh detik kemudian. "Ya, udah kalo lo maksa, sih."

Mereka berdua kemudian turun dari mobil, lalu berjalan meninggalkan parkiran. Di saat yang bersamaan, sebuah panggilan terdengar dari kejauhan.

"Ayu!"

Mendengar sura yang ia kenal, Sinta mendadak berhenti. Tak banyak yang tahu tentang nama kecilnya ini. Namun, dari panggilan tadi, suaranya terdengar sangat familier.

"Kenapa lagi, Sin? Asam lambung lo naik lagi?" Rina bertanya khawatir. Sinta menggeleng dengan alis tertaut.

Tiba-tiba, seorang gadis berkuncir kuda menghambur lalu memeluk Sinta dengan erat. "Ayu! Akhirnya aku ketemu sama kamu lagi. Aku kangen banget, lho!" gadis itu memekik gembira. Sinta yang berada di pelukannya sontak membelalakan mata ketika tahu siapa gerangan yang tengah memeluknya itu.

"Ilma," gumam Sinta dengan wajah pias.

"Iya, ini aku Ilma!" Gadis itu dengan segera melepaskan pelukannya. "Ternyata kamu masih inget sama aku," ujarnya senang.

Rina yang tak tahu apa-apa pun dengan cepat memotong pembicaraan dua orang di hadapannya. "Sorry ganggu, kamu siapa, ya?" tanyanya pada si gadis kuncir kuda.

Dengan mata bulatnya Ilma menoleh pada Rina. "Aku dulu temen sekelasnya Ayu di SD. Salam kenal, namaku Ilma," ucapnya sambil menjabat tangan Rina.

"Aku Rina. Temen sekelasnya Sinta di SMA," balas Rina sambil tersenyum. "Berarti kalian teman lama, dong?"

Ilma mengangguk. "Tapi semenjak Ayu pindah, kita jadi lost contact. Bener nggak, Yu?" ujarnya sambil menyenggol lengan Sinta.

"I-iya," gumam Sinta pelan. Wajahnya terlihat tak nyaman dan Rina menyadari gelagat itu.

Menyadari Sinta yang tak banyak bicara, Ilma menatap Sinta heran. "Kamu sekarang agak berubah, ya. Nggak kayak dulu. Kamu jadi lebih pendiem, lho," tandasnya sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. "Oh, ya, aku bagi nomor kamu, dong!"

Sinta menyebutkan nomor ponselnya pada Ilma ragu-ragu. Tak berapa lama, ponselnya pun bergetar.

"Itu nomorku. Disimpen, ya." Ketika ia melihat jam yang tertera di ponselnya, Ilma memekik lagi. "Ya, ampun. Aku nyaris telat. Ah, coba aja hari ini aku libur jadinya, kan, aku bisa main sama kamu. Eh, tapi besok aku libur kerja, kok, jadi kalo kamu mau main, bisa banget! Oh, betewe rumahku masih belum pindah, lho. Masih di tower C. Kapan-kapan mampir, ya!" ucap gadis itu sambil memeluk Sinta kembali.

Sinta mengangguk kaku. "I-iya, kapan-kapan aku bakal mampir."

"Aku pergi dulu, ya!" pamit Ilma dengan kedua gadis itu.

"Hati-hati!" Rina melambaikan tangan dengan dahi berkerut. Sejujurnya, ia merasa kata-kata Ilma tadi sangat janggal. Reaksi yang ditunjukkan Sinta pun terbilang aneh. Ketika Ilma datang, ia tampak seperti melihat hantu. Awalnya ia ingin menanyakan hal ini langsung kepada Sinta, tetapi ketika ia mendapati Sinta yang mendadak gelisah, ia pun mengurungkan niatnya itu.

Mungkin hal ini terdengar kurang sopan, tapi ia penasaran sebenarnya apa yang terjadi pada temannya itu? Sikap aneh Sinta ketika mereka baru saja sampai di rumah susun ditambah dengan pertemuan mereka dengan Ilma, memunculkan tanda tanya besar di kepalanya.

Usai menyelesaikan urusan dengan tantenya, Rina pun segera mengajak Sinta untuk melanjutkan agenda mereka menuju perpusnas. Sepanjang perjalanan, Rina beberapa kali memergoki Sinta yang tanpa sadar menggaruk-garuk sambil memasang ekspresi kosong. Karena takut terjadi sesuatu, Rina pun berusaha membuatnya mengobrol dengan membahas apa saja yang terlintas di kepalanya. Sayangnya, cara ini tak begitu efektif karena percakapan yang terjadi kebanyakan berjalan satu arah.

Karena ia sudah tak tahu harus berbuat apa, akhirnya Rina menyetel radio keras-keras dengan tujuan supaya Rina keluar dari dunianya sendiri. Untungnya, cara ini cukup berhasil. Sinta kini sudah mau membalas perkataannya meski ia hanya membalas sepatah dua patah kata saja.

Rina mendesah lega. Namun sayangnya itu tak menyurutkan rasa penasarannya. Tak tahan dengan berbagai macam spekulasi yang berkeliaran di kepalanya, tanpa diketahui oleh Sinta ia lantas mengirimkan sebuah pesan untuk tantenya.

Tan, aku boleh minta tolong? Tante bisa cari tahu soal cewek yang namanya Ilma? Dia tinggal di tower C

Dalam hati ia berjanji untuk mencari tahu semua hal yang mungkin disembunyikan Sinta dari dirinya. Apapun akan ia lakukan untuk menolong seseorang yang sudah ia anggap sebagai sahabat itu.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang