#31 - Lagi dan Lagi

14 3 0
                                    

Hari ini, Sinta bertekad untuk ke rumah Raka sekali lagi setelah lima hari lalu ia gagal menemui Raka yang baru keluar dari rumah sakit. Ia juga tak yakin kalau surat yang ia berikan sampai ke tangan Raka. Bukan ia ingin berpikiran buruk tentang Suri, hanya saja, intuisinya berkata demikian.

Sesampainya di rumah Raka, sayangnya nasib baik lagi-lagi tak berpihak padanya, karena meski sudah lebih dari sepuluh menit ia memencet bel, pintu pagar tak kunjung terbuka. Apakah tak ada satu pun orang di rumah? Mengapa ia selalu datang di saat yang tak tepat, seolah-olah dirinya memang tak diizinkan untuk bertemu Raka.

Gadis itu memandang pagar rumah Raka dengan sedih. Padahal, ia akhirnya memiliki waktu setelah beberapa hari lalu berjibaku dengan tugas sekolah yang menumpuk.

"Nyari siapa, Dek?"

Sinta tersentak ketika suara lelaki terdengar memanggilnya dari belakang. Dengan cepat ia menoleh sambil menurunkan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Di belakangnya, ia mendapati seorang pemuda yang tengah mengeluarkan motor dari garasi rumah di seberang sana.

"Nyari siapa?" tanya pemuda itu lagi.

Sinta menelan ludah gugup. "Sa-saya cari Raka, Kak," ucapnya agak tak nyaman.

"Oh, Raka? Kalau nggak salah tadi siang di ke rumah sakit sama mamanya," balas pemuda itu. "Mending kamu pulang aja dan ke sini lagi besok," lanjutnya sambil tersenyum.

Sinta tampak kecewa. "Ya, terima kasih, Kak," ucapnya sambil berjalan menjauhi rumah Raka.

Melihat kepergian sigadis berambut pendek, pemuda itu sebenarnya merasa kasihan. Secara wajahnya benar-benar menunjukan kekecewaan yang sangat besar. "Ya, bodo amat, lah," gumamnya sambil memakai helm.

Tepat ketika ia ingin menyalakan motor, ponselnya bergetar—tanda pesan masuk.

MAS JUN, KAPAN JEMPUTNYA?!

Pemuda itu meringis saat membaca isi pesan yang semua hurufnya diketik dengan huruf besar. Aduh, dia lupa kalau hari ini sudah janji untuk menjemput adiknya, tapi sayangnya ia ketiduran.

Dengan cepat pemuda itu menulis balasan sebelum si pengirim makin murka.

Tunggu sebentar adikku, Sayang. Kakanda segera meluncur ke sana~

Tak beberapa lama, balasan kembali masuk.

MAS JUN ALAY!

.

.

.

Sementara itu di tempat lain, Suri yang tengah menunggu kedatangan Jun pun belingsatan di atas kursi halte. Sesekali ia berdiri lalu berjalan mondar-mandir di sekitaran halte tempatnya menunggu.

Dua puluh menit berlalu, akhirnya Jun datang juga. Pemuda itu bergegas turun dari motor dan langsung menghambur ke arah Suri.

"Nggak usah peluk-peluk!" seru Suri marah ketika Jun mencoba untuk memeluknya.

"Suriii, maafin Mas Jun."

Suri berdecak jengkel. Ia pun sengaja membiarkan Jun merengek-rengek macam bayi di tengah jalan. Biarkan saja orang-orang melihat. Biar dia malu.

"Suriii, maaf banget! Tadi Mas ketiduran habis begadang ngerjain project kemarin itu, lhooo." Jun masih terus merengek sambil meremas-remas tangan sang adik.

"Bodo amat."

"Nanti Mas jajanin es krim sepuas kamu, deh!"

Cengiran Suri seketika terkembang lebar. "Sepuasnya?" tanya sambil menyipitkan mata.

Jun manggut-manggut. "Sepuasnya sampai kamu sakit perut!"

"Deal!" tandas Suri cepat. Tanpa perasaan ia mendorong-dorong punggung kakaknya menuju motornya yang terparkir di sisi trotoar sebelah halte. "Ayo cepetan! Nanti keburu malam."

"Iyaaa, iyaaa—aduh! Sabar sedikit, ya," keluh Jun karena tadi nyaris terjatuh. Ia kemudian menyerahkan helm pink pada Suri. Namun, detik berikutnya ia buru-buru mengambil lagi helm itu dan menukarkannya dengan helmnya sendiri saatSuri melemparkan tatapan membunuh padanya. "Oh, ya, tadi ada cewek yang dateng nyariin Raka, lho," ucap pemuda itu sambil menstarter motor.

"Hm, siapa?" tanya Suri sambil memakai helm hitam milik Jun.

"Cewek rambut pendek. Seragamnya sih sama kayak seragam sekolah kalian." Jun menoleh sekilas ke belakang untuk mengecek keadaan sang adik. "Udah siap belum?"

"Cewek rambut pendek?!"

Jun berjengit kaget setelah Suri berteriak marah. "Ke-kenapa, Dek?"

Suri mendengkus jengkel. "Nothing."

"Beneran, nih?" tanya Jun memastikan.

"Bawel, ah!" Suri pun memukul pundak kakaknya hingga kakaknya mengaduh keras. "Dibilang nggak ada apa-apa juga. Udah cepet jalan. Nanti keburu malem. Mama nanti ngomel kalau kita pulang telat."

Jun meringis sambil mengurut pundaknya yang terasa nyeri. "Yes, Milady." Tak lama kemudian, motor yang membawa mereka berdua berjalan membelah jalanan.

Di atas motor Suri berupaya keras untuk menahan emosinya yang meluap-luap. Ternyata Sinta masih berani datang meski sudah ia usir secara halus beberapa hari lalu. Mungkin Sinta memang harus diberi peringatan langsung agar ia tidak mendekati Raka lagi.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang